Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku merindumu. Rindu ini nyaris tumpah, kepenuhan. Jika dulu ia datang malam-malam, kini ia datang lebih awal. Lebih sering. Lebih menyiksa.
Menurutmu, rindu itu menyenangkan? Tidak. Merindumu itu siksaan. Merindumu lebih sakit dari perpisahan itu sendiri.
Aku bertemu denganmu. Melihatmu dari jarak jauh, lalu rindu itu lenyap. Terobati. Kadang aku pun sial. Bertemu denganmu membuat rinduku makin mengkristal, bercokol di hati, lalu menyisakan sakit. Aku tak punya obatnya, maka sakit itu tetap di sana, menggerogoti masa-masa kita.
Aku rindu menghabiskan sisa hari denganmu, membelah ruas Jakarta malam hari. Atau sekedar meneguk secangkir kopi di sudut sana. Lalu kembali ke tempat itu, bercanda, berkisah ini-itu, dan berakhir dengan pelukan atau beberapa kali pagutan bibirmu.
Aku mau mengulang masa-masa kita. Namun mengulangnya berarti sebuah cermin kebodohan dan keegoisan. Mengulangnya berarti menentang kebenaran.
Maka kita berpisah.
Tapi rindu itu masih ada. Pelupuk mataku akan basah secepat kilat ketika rindu itu kian mengkristal.
Aku merindumu. Saat ini. Sungguh.
Bisakah kita berpisah tanpa merindu?
So sad 🙁
Makasih, teteh udah blogwalking.
Hmm.. iya ya, berkali-kali baca, aku baru nyadar kalau tulisan ini sedih banget 🙁
Ini bagus banget Septaa.. Kamu bikin aku galau bangett iniiih 😀
Makasih Mba Ninit. Kok ya sakit banget tulisan ini? Hahahahaha…
lagi nulis tentang hal yang sama, blogwalking, trus nemu ini. keren 🙂
Hi Laras, makasih ya udah blogwalking 😀