Wawancara Di Kota Imaji

“Yak! Cepat saja interviewnya. Namamu, Nak?”

“Septa, Pak.”

“Hehhh.. Nama asli. Kau pikir ini kenalan di dunia maya?!”

“Memang Septa, Pak. Apa menurut Bapak ini terlihat seperti nama palsu?”

“Umur?”

“Dua satu, Pak.”

“Pekerjaan?”

“Mahasiswi, Pak.”

“Jenis kelamin?”

“Apa saya terlihat seperti laki-laki, Pak?”

“Alamat?”

“Di bawah ketiak langit, di kota imaji.”

“Status pernikahan?”

“Lajang, Pak.”

“Wahhh.. hatimu masih kosong, dong?” (dengan muka menjijikan dan kumis melengkung hitam yang kini terjungkir ke atas)

“Tidak, Pak.”

“Ah, baik.” (raut mukanya kesal) “Hobi?” (seolah kehilangan bahan pertanyaan)

“Ha? Apa itu berkaitan, Pak, dengan agenda hari ini?”

“Jawab saja!! Jangan banyak cengcong!”

“Mm… Hobi saya… Menulis sampai jari-jari saja terlepas. Saya biasa menulis di media apapun, handphone, Twitter, blog. Lalu, saya suka membaca, Pak, sampai mata saja bergulingan jatuh ke tanah. Saya suka…”

Belum kelar saya bicara, Bapak Tua Bangka dengan kumis hitam melengkung itu tenggelam dalam tidurnya.