Semalam

Semalam aku kembali menatap pantulanmu di cermin. Refleksi fisikmu tergambar jelas di sana, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kakimu bagus, lumayan jenjang. Aku tak tahu apakah bulu-bulu itu perlu dicukur atau tidak. Terserah, Sayang. Setidaknya, kakimu yang panjang cukup membuat tubuhmu menjulang–dan membuatku berjinjit manakala kecupan itu mengarah ke ujung bibirmu.

Bahumu? Ah, ya baiklah, bahumu bidang. Bahu yang selalu membuatku betah berlama-lama bersandar. Entah bermanja, menangis, atau bercerita ngalor-ngidul. Wajahmu. Hmmm… tak banyak yang bisa kukritik. Kau cukup manis. Cukup.

Dan, ouch! Perutmu. Mungkin aku berlebihan, tapi sungguh, tiap hari seolah perutmu bertambah maju sepersekian sentimeter. Kalau kau punya waktu luang, pergilah fitness. Aku tak minta agar perutmu kotak-kotak. Asalnya datar saja, sudah cukup. Berjanjilah bahwa setelah ini kau akan daftar kelas fitness atau apalah namanya.

Semalam aku mengkritik penampilanmu. Pantulan dirimu di cermin cukup membuatku risih. Tapi entah kenapa, pada malam yang sama, sayang itu makin besar. Semalam kau mengajariku arti legawa. Ibarat murid tolol, aku tak tahu arti tulus sampai kau benar-benar mengajarinya. Tak ada rumus, tak ada hapalan. Semuanya soal pemahaman: bagaimana aku memahamimu dengan segala tetek bengek masa lalu dan kekuranganmu.

Aku lupa pada fisikmu. Yang aku ingat hanya soal hati.

Ah, tapi aku pun tak munafik. Kau harus tetap fitness. Enak saja! πŸ™‚

P.S:
Untuk seorang sahabat yang sore tadi [tanpa sengaja] berceloteh soal ketulusan

No Comments

Leave a Reply