Sebuah Ritual Malam

Saya ingat betul malam itu. Dingin. Senyap. Kosong. Saya terduduk di taman. Sendiri. Saya tidak mengharapkan bintang atau suatu meteor jatuh terguling.

Malam itu pukul 11. Ada kebekuan yang melingkupi. Namun mencair seketika ketenangan itu merangkak naik. Saya mencintai malam karena di dalamnya ada pengharapan, doa, dan ketenangan.

Tak berarti saya membenci siang atau pagi atau sore. Tidak, jangan berpikir demikian. Malam selalu punya cerita khusus. Mungkin itu sebabnya saya enggan tidur terlalu cepat. Saya mau menikmati keheningan malam sebelum subuh bangun dengan pelbagai hiruk pikuknya.

Dan malam itu jadi berbeda. Sehabis hujan sore tadi, bau tanah menyeruak, menggelitik indera penciuman. Bunga-bunga terompet berdandan ayu, mereka memang selalu bermekaran menjelang malam dan terkatup rapat saat siang.

Saya terdiam. Ah, tidak. Bibir saya diam, tapi imaji saya liar. Ingatan berputar pada hari-hari lalu, tahun-tahun lalu.

Pria itu mengangkat tubuh saya yang terlanjur terlelap di karpet depan televisi. Ia membaringkan saya di kasur. Menyelimuti lalu mengecup pelan di ujung kening. Esoknya ia akan menjadi pria pertama yang mengantar saya melewati rutinitas.

Pria itu yang melipat tangan dan mengajak berdoa sebelum kami makan. Ia yang berceloteh soal rumah, teman-temannya, atau segala pergumulannya. Saya hanya diam, lagi-lagi diam.

Di tahun-tahun lainnya, pria itu duduk di teras. Ia menggores malam dengan Gudang Garam. Wanita di sampingnya memandang bulan. Sesekali keduanya bercanda. Sedetik kemudian mereka berargumen.

Dan saya mengintip dari balik jendela sebelum akhirnya menghambur keluar, duduk di antara keduanya sambil berkata, “Duduknya harus dibatasi!!”

Tawa keduanya pecah. Sebenarnya saya cemburu dengan keduanya. Mereka sering melupakan saya ketika asyik berdua. Sang wanita memangku saya. Sementara pria itu berlagak memeloti saya, pura-pura marah.

Dan malam itu, ketika saya duduk sendiri, memori itu berulang. Sepertinya Tuhan memencet tombol rewind.

Mungkin itu sebabnya keduanya senang duduk di teras memandangi malam. Karena malam punya ritual keheningan tersendiri. Cerita-cerita mereka rajut tiap malam, berdua saja.

Saya sendiri, masih sendiri. Memori berhenti. Saya rindu kecupan itu, matanya yang melotot, cemburu yang bodoh, gelak tawa kami…

Haruskah saya kembali?

No Comments

Leave a Reply