Belkibolang: Menyindir Jakarta Di Malam Hari

Ada dorongan yang kuat ketika beberapa hari lalu saya membuka situs Salihara dan menemukan sebuah agenda menarik: pemutaran film “Belkibolang”. Karena, jujur saja, saya bukan pecinta film. Pengetahuan film saya terbatas. Seringkali saya menonton film karena dorongan intuisi dan rekomendasi teman-teman. Jadi, ketika feeling saya berkata “Belkibolang” menarik dan sarat nilai moral, saya pun memutuskan menontonnya.

Setelah mengatur tetek-bengek pendaftaran, akhirnya Minggu (23/01/11) sekitar pukul 18.30 saya tiba di Salihara. “Belkibolang” akan diputar pukul 19.00 WIB. Ini kali pertama saya ke sana. Kesan pertama: menyenangkan! Lalu, saya dan teman saya menuju ruang pemutaran film. Desainnya mirip bioskop kebanyakan, hanya saja tempat duduk dan tangganya lebih sederhana. Tapi toh tak masalah.

Belkibolang (singkatan dari: Belok Kiri Boleh Langsung) merupakan 9 film pendek dari 9 sutradara tentang kehidupan Jakarta di malam hari. Wisnu Surya Pratama, Edwin, Tumpal Tampubolon, Anggun Priambodo, Agung Sentausa, Ifa Isfansyah, Sidi Saleh, Azhar Lubis, dan Rico Marpaung  adalah 9 sutradara yang telah meramu potret Jakarta malam hari menjadi sebuah film yang menarik. Tidak lupa, kekuatan film ini juga didukung oleh goresan skenario karya Titien Wattimena. Diakui penulis skenario, inti dari “Belkibolang” adalah gambaran kehidupan Jakarta malam hari yang menampilkan interaksi antara pria dan wanita.

Tulisan ini saya buat berdasarkan persepsi saya pribadi akan inti pesan film. Anda mungkin sepakat, mungkin juga berbeda. Sengaja saya membahasnya secara terpisah. Pertama, karena setiap film punya kekuatan dan keunikan masing-masing. Kedua, saya ingin menyampaikan interpretasi saya secara lebih terfokus.

Payung

Sebagai “tendangan” pertama, kami disuguhkan fim “Payung”, sebuah kisah tentang gadis cilik yang berprofesi sebagai ojek payung di Jakarta. Di tengah hujan malam itu, ia melayani seorang pemuda dengan wajah lelah dan (agak) putus asa yang diperankan oleh Dwi Sasono. Memang, film ini minim percakapan. Tapi adegan kedua tokoh yang basah kuyup dengan beragam ekspresi wajah mampu mengantarkan kita pada berbagai persepsi tentang pesan cerita. Bagi saya, inilah potret kehidupan bocah kecil Jakarta. Kerja hingga malam pekat hanya demi rupiah ―bahkan Rp 2.000! Entah kemana masa kecil mereka yang harusnya penuh keriangan permainan dan belajar.

Satu lagi, yang membuat saya (dan mungkin penonton lainnya) terkesima adalah efek yang ditampilkan dalam film tersebut. Ada permainan cahaya dan warna yang cantik. Entah namanya apa. Tapi toh hal itu benar-benar membuat “Payung” makin indah.

Percakapan Ini

Selanjutnya, “Percakapan Ini” pun diputar. Diawali dengan adegan Marsha Timothy dengan perut hamil memanggil Omen (diperankan oleh Desta Club 80’s). Terkaan saya, mereka bertetangga di sebuah rumah susun kumuh (mungkin). Film ini seperti kebalikan dari “Payung” yang minim percakapan. “Percakapan Ini” justru menampilkan banyak percakapan. Bukan sembarang percakapan, ini percakapan sarat makna!

Ya, lihat saja bagaimana Marsha Timothy mengeluhkan mantan pacarnya yang menghubungi dia lantaran punya televisi baru. Lalu Desta menimpali bahwa hubungan berpacaran itu mirip televisi. Kalau tak punya, kepingin bukan main. Kalau sudah punya, ditonton pun jarang. Kalau hilang atau dicolong maling, maka si empunya akan kalang kabut. Saya pun manggut-manggut dengan analogi ini. Paham. Sampai akhirnya teman saya menyikut tangan saya, pertanda ini analogi sindiran.

Percakapan Marsha-Desta tak cuma terhenti di sini. Mereka lalu berceloteh bahwa hidup itu soal memilih. Tapi toh ketika waktu menggerus usia (baca: tua), maka pilihan untuk memilih akan semakin sedikit. Kalimat ini punya kekuatan yang hebat hingga mampu menohok saya secara pribadi.

Bukan hanya soal percakapannya yang sarat makna, penulisan skenarionya pun edan. Sang penulis, Titien Wattimena, mengaku menulis skenario percakapan seumpama alur A hingga E. Namun ketika adegan tersebut berhenti di E, percakapan tersebut dibalik dari E ke A hingga lahirlah sebuah film utuh dengan percakapan yang sebenarnya pengulangan saja. Uniknya, meski “hanya” sebuah pengulangan percakapan (dari awal-akhir dan akhir-awal), percakapan tersebut masih enak dinikmati. Dalam Belkibolang, ini salah satu kesukaan saya. Dua jempol buat Mba Titien J

Mamalia

Inilah kisah perempuan berambut panjang yang naik ojek lantaran mau mencari sebuah alamat di sudut Jakarta. Setelah muter-muter mencari alamat yang dituju, Sang Perempuan meminta tukang ojek menghentikan laju kendaraan di sebuah semak sepi dan gelap. Wew! Saya pikir ini adalah another Indonesian horror movie dimana Sang Perempuan tiba-tiba berubah menjadi hantu menyeramkan yang berhasil membuat Si Tukang Ojek lari terbirit-birit. Apalagi setting kesenyapan di malam hari makin memperkuat asumsi saya ini.

Nyatanya salah!

Sang Perempuan membuka sebagian kaos kuning pucatnya dengan alasan kelilipan. Kaosnya terbuka hingga bagian dadanya (yang tanpa bra) dapat dilihat tukang ojek. Dan adegan berikutnya membuat penonton menarik napas, melongo dan bertanya-tanya: “Eh, itu adegannya beneran?”

Tapi toh, menurut saya, bukan di situ inti ceritanya. Itu hanya modus pencurian kendaraan bermotor dari seorang perempuan demi kesenangan putrinya. Gila! Ini cerita yang benar-benar refleksi kehidupan Jakarta yang keras. Demi keluarga, kadang penduduk kota ini rela melakukan apa saja, termasuk hal yang gila sekalipun!

Teman saya punya pemahaman yang berbeda. Katanya, ini tak lebih dari sebuah sindiran bagi kaum pria, baik pria lajang maupun menikah, yang masih saja suka “jajan” kalau melihat perempuan lain.

Planet Gajah

Yang satu ini merupakan potret percintaan muda-mudi Jakarta. Saya tak bisa memberi banyak komentar soal inti pesan film ini karena saya pun masih mencoba mereka-reka pesan yang ingin disampaikannya. Satu hal yang pasti, Jakarta malam hari terekam dengan sangat romantis dalam film ini. Sudut pertokoan tua, jembatan busway, dan jalan-jalan Jakarta menjadi amat manis, mirip film-film drama Hollywood.

Tokek

Nah, ini dia film ber-setting kamar tidur dimana seorang wanita hanya tidur dan seorang pria dengan perut buncit sibuk dengan Macbook dan iPhone-nya. Sampai mati lampu menghancurkan konsentrasi Sang Pria. Ia gusar. Kegerahan dan gelisah lantaran pemadaman bergilir dari PLN.

Sama hal-nya seperti “Planet Gajah”, tak mudah bagi saya untuk memahami inti pesannya, selain gambaran masyarakat Jakarta yang (katanya) modern dan hi-tech tapi masih mengalami pemadaman listrik bergilir. Miris.

Peron

Dari judulnya saja sudah terbayang setting film yang satu ini. Berlatar belakang peron Stasiun Gambir malam hari yang masih saja sibuk dengan berbagai aktivitas, film ini memang sebuah tonjokan pada masyarakat Jakarta yang kesibukannya “melebihi” lalu lintas sebuah stasiun kereta.

Diceritakan seorang pemuda yang menunggu kereta sambil menikmati alunan musik di iPodnya. Volume dibuat maksimal hingga melodi-melodi di dalamnya membawanya pada keasikan akan dunianya sendiri. Di peron seberang, didapatinya seorang perempuan seusianya. Wanita berkacamata tebal, mengenakan terusan mini dan cardigan kuning, yang sedari tadi kepalanya bergerak mengikuti alunan musik. Penampilannya cupu. Tapi pemuda dengan iPod di genggaman tangannya itu berhasil melahirkan imaji-imaji liar tentang wanita cupu di seberangnya.

Sampai ketika iPod-nya mandhek, tak bisa berfungsi lagi. Musik terhenti.Yang didengarnya hanyalah suara pedagang, ocehan penumpang, pengumuman petugas stasiun melalui pengeras suara, deru kendaraan bermotor di luar stasiun, hingga kebisingan yang teramat sangat ketika kereta melintas. Imaji liarnya buyar. Ia menutup telinga, tak mau mendengarkan suara-suara bising di sekitarnya. Tapi matanya tetap terpaku pada wanita cupu di seberang peron yang terus menikmati musik. Nyatanya, wanita itu adalah sosok tunarungu. Kepalanya yang bergerak mengikuti irama musik tak lebih dari sebuah “kamuflase”.

Hei, bukankah kita pun sering menemui orang-orang yang menyumbat telinganya dengan musik kesukaannya ketika beraktivitas di ruang publik? Saya tidak menyalahkan musik atau kebiasaan menikmati musik, namun ketika keasikan tersebut justru membuat kita apatis akan sekitar dan ogah melek dengan realita, justru di sinilah masalahnya. Ada banyak orang di luar sana yang tak mampu mendengar dengan sempurna. Mengapa kita yang dilahirkan dengan panca indera yang normal lalu menyia-nyiakannya dengan sebuah keegoisan? Ini pun menjadi koreksi saya secara pribadi.

3LL4

Hampir di seluruh bagian film ini menampilkan percakapan bahasa Jawa (khususnya Jawa Timur) antara Ella, pelacur asal Jawa Timur, dan seorang pedagang Bebek Bakar yang disapa Cak (seperti sapaan “Mas” dalam budaya Jawa Timur).

Dikisahkan bagaimana Ella keesokan paginya akan pulang kampung demi merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Kebohongan demi kebohongan pun dilontarkan Ella ketika Ibunya menelepon dari kampung. Ketika ditanyai macam-macam oleh Ibunya, Ella hanya menjawab bahwa ia baru pulang tarawih, baru saja mandi, atau hendak tidur padahal kenyataannya ia tak berpuasa dan sibuk melayani tamu-tamunya.

Yang ironis adalah ketika Ella selesai makan dan hendak pergi menuju stasiun dengan membawa berbagai tas dan oleh-oleh untuk keluarganya di kampung. Saat itu ia ingin membayar sepiring bebek bakar yang dibelinya. Si Cak, penjual sekaligus temannya itu justru tak mau dibayar. Yang terpenting baginya adalah Ella berjanji akan berpuasa. Ella hanya mengiyakan kemudian berlalu pergi sembari berujar: “Assalamualaikum…” Dan Cak membalas, “Walaikumsalam. Halah, macem ustadz bener ae kowe!” (Halah! Macam ustadz saja kamu!) Jawaban Cak mengundang gelak tawa penonton Salihara yang berujung pada tepuk tangan.

Lagi-lagi, uang menjadi hal penting dalam kehidupan di kota ini hingga “Payung”, “Mamalia”, dan “3LL4” menjadi gambaran dari realita Jakarta. Tak apalah tak beribadah, berbohong, atau melakukan pekerjaan yang tak umum demi kebahagiaan keluarga, kira-kira begitu interpretasi saya atas ketiga film ini. Ironis.

Roller Coaster

Penonton dibuat jijik dengan adegan pembuka film ini. Sepasang sahabat, pria dan wanita muda, sedang asyik bermain ludah di sebuah kamar. Sungguh menjijikkan! Tapi adegan-adegan berikutnya justru.. hmm.. saya tidak tahu kata sifat yang mewakili adegan ini, ketika dua orang sahabat berlawanan jenis saling membuka pakaian satu sama lain.

Ide saling melucuti pakaian itu datang dari pihak perempuan sebagai sebuah tantangan lantaran keduanya sudah bersahabat lama tapi tak pernah melihat satu sama lain bugil. Keduanya pun menyetujuinya dengan syarat selama proses pelucutan pakaian keduanya harus menutup mata (dengan mata tertutup kain pengikat). Hingga proses selesai, keduanya boleh membuka penutup mata pada hitungan ketiga.

Dan ketika hitungan ketiga, si pria membuka penutup mata. Ia mengerjap-erjapkan matanya. Mengenakan kacamatanya agar mampu melihat jelas. Ya, sahabat di depannya sedang berdiri tanpa selehai benang, hanya rambut panjangnya yang menutupi dada. Anehnya, sahabat perempuannya itu justru tak  membuka mata. Si pria hanya tercengang, bukan pada tubuh telanjang di depannya, tapi pada penutup mata yang tak dibuka oleh sahabatnya.

Ini bukan film porno. Tak ada adegan mesum atau sejenisnya. Menurut saya, film ini semacam (lagi-lagi) sentilan pergaulan anak muda Jakarta zaman sekarang. Batasan norma dan budaya ketimuran semakin luntur. Persahabatan yang identik dengan keterbukaan dianggap tak cukup jika tak dibarengi keterbukaan secara fisik. Ketelanjangan yang dahulu disakralkan hanya bagi pasangan yang sudah menikah, sekarang justru dilangkahi oleh berbagai pembenaran (yang sebenarnya tidak benar).

Full Moon

Kisah seorang supir taksi inilah menjadi penutup dari serangkaian film pendek Belkibolang. Diceritakan bagaimana istri sang supir begitu bersemangat mengikut suaminya yang bekerja di malam tahun baru. Berbagai karakter penumpang diangkutnya malam itu, meski jumlahnya tak banyak.

Buat saya, ini sindiran yang mencubit istri-istri dan wanita Jakarta zaman sekarang. Kehidupan modern dan gaya hidup Jakarta yang kian hedon makin menyedot manusia-manusia di dalamnya untuk turut terjerumus. Tergambar jelas bagaimana perayaan Tahun Baru di Jakarta begitu hingar-bingar. Setiap tahun jalan-jalan di Jakarta akan macet total. Deru kendaraan di Bunderan HI, bunyi terompet, kembang api, petasan, berbagai lampu gemerlap, hingga ucapan “Selamat tahun baruuu!” menjadi “upacara” wajib tiap tahunnya. Ini pula yang tergambar pada “Full Moon”.

Tak buruk sebenarnya, tapi ketika perayaan dan pesta pora hanya sebuah seremonial tanpa makna, ini patut dipertanyakan. Sama halnya ketika Isna, istri supir taksi, yang ngotot ikut suaminya narik taksi di malam tahun baru demi melihat pesta pora kota. Dibelinya terompet dan diteriakkannya “selamat tahun baru” pada suaminya. Sayangnya, suaminya justru berteriak minta cerai. Tapi toh Isna tak mendengarnya. Kehebohan Jakarta membuatnya terlalu larut dalam pesta.

Saya melihat respon si supir taksi sebagai sebuah luapan emosi yang tertahan. Sepanjang cerita ia hanya muram dan sesekali berbicara dengan Isna dengan pandangan sinis atau kata-kata nyinyir. Mungkin ia sudah tak tahan menjalani hidup dengan perempuan yang tak peka kondisi suami dan lebih mementingkan gaya hidup Jakarta.

 

Pemutaran film ini hanya memakan waktu sekitar 90 menit. Setelah itu, diadakan sesi tanya jawab antara penonton dan beberapa kru di balik layar Belkibolang. Memang tak semua hadir. Tapi setidaknya kehadiran sang penulis skenario (Titien Wattimena); dua pemain Belkibolang Panji (Planet Gajah) dan Vicky (Peron); serta 2 sutradara yakni, Anggun Priambodo dan Wisnu Surya Pratama, mampu memuaskan keingintahuan penonton malam itu.

Beberapa penonton pun mengaku sudah menonton film ini lebih dari sekali. Wajar saja, karena memang film ini layak ditonton. Sindiran, humor, serta ironi di dalamnya memberi Belkibolang “roh” dalam tiap adegannya. Dan, lagi-lagi, wajar saja jika dengan roh tersebut akhirnya film ini diikutsertakan dalam International Film Festival Rotterdam dan Hongkong Film Festival.

Akhirnya, “Percakapan Ini”, “Peron”, dan “3LL4” menjadi 3 film pendek favorit saya dalam Belkibolang. Tak berarti 6 film lainnya lantas tak patut disukai. Kesembilan film punya kekuatan dan keunikan masing-masing. Hanya saja, dari 3 film tersebutlah saya punya pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan.

 

“Semoga Belkibolang memberikan pengalaman menonton film dan kekayaan batin yang berbeda.” (Titien Wattimena, penulis skenario “Belkibolang”, disampaikan seusai sesi tanya jawab Belkibolang-Salihara, 23 Januari 2011)

5 Comments

  • Emiralda January 26, 2011 at 9:44 pm

    Masih ada pemutaran filmnya gak, Septa ? Jadi pengen nonton 🙂

    Reply
  • Septa Mellina January 27, 2011 at 4:47 pm

    Aku kurang tau Mba Emi akan diputar dimana lagi setelah ini. Filmnya emang keren, Mba!

    Reply
  • Kunto Wibowo April 1, 2011 at 10:45 am

    Dengan membaca ulasan yang mbak tulis saja, sudah membuat saya ‘merinding’ apalagi kalau melihat secara langsung. Bagus banget mb.

    Reply
    • Septa Mellina April 3, 2011 at 12:15 am

      Hi, terima kasih ya sudah berkunjung. Lebih baik nonton filmnya, bagus banget 🙂

      Reply
  • A Birthday Poem: About a Woman I Know – this is a story, a therapy October 5, 2016 at 3:34 pm

    […] got closer since two or three years ago when we met at Indonesian independent film screening in South Jakarta. She was there, serving as organizer. And I was there, spending Saturday night with […]

    Reply

Leave a Reply