Pagi ini berbeda.
Sebelumnya, saya tidak pernah mendapat berita duka begitu membuka mata. Tapi hari ini saya mendapatkannya. Begitu bangun dari tidur, saya mengecek handphone. Ini seperti sebuah kebiasaan–dan saya rasa orang lain pun melakukannya. Dan berita mengejutkan itu hadir.
Suami atasan saya semasa magang 3 tahun silam dipanggil Tuhan dalam usia yang terbilang muda, 34 tahun. Entah apa sebabnya. Rasanya baru beberapa tahun silam saya dan teman-teman magang hadir ke pesta pernikahan mereka. Tapi mari bicarakan dari sudut pandang yang berbeda, bukan soal Almarhum. Soal Almarhum adalah otoritas Tuhan.
Saya pun terdiam. Otak berputar mengingat apa yang telah saya lakukan selama 22 tahun menjadi salah satu penduduk dunia. Apakah banyak yang berguna? Apakah justru menyusahkan sekitar? Sudahkah saya menyenangkan Tuhan?
Ah, umur memang rahasia Tuhan. Tak ada yang tahu, seorang pun tidak. Tapi di sisi lain saya pun bahagia. Jangan! Jangan berpikir yang macam-macam! Saya bahagia karena saya menyadari betapa pendeknya kehidupan di bumi. Saya bahagia bahwa akhirnya ada suatu kejadian yang membuat saya berpikir dan tersadar. Betapa saya tak lebih dari sekepul asap, yang singgah di udara, lalu lenyap tanpa jejak.
Bahwa gelar, harta, kepintaran, status, dan segala embel-embel duniawi tertinggal di bumi saat Tuhan memutuskan untuk menjemputmu. Bukan berarti menjadi pribadi pesimis. Justru karena segalanya akan ditinggalkan, manusia fana (seperti saya ini) layaknya terus mengingat bahwa segalanya adalah titipan. Bahwa memberikan yang terbaik untuk menghidupi yang dititipkan itu adalah suatu kewajiban.
Saya jadi teringat perkataan Pendeta saya dalam ibadah hari Minggu silam. Ia bilang,
“Saudara, ada bagusnya juga kalau sering ikut ibadah penguburan. Setiap kali saya mau tutup peti, saya lihat orang mati. Bikin kita sadar bahwa hidup cuma sebentar. Jadi hidup nggak perlu sombong….”
Tawa jemaat pecah seiring dengan gaya khotbah beliau yang memang lucu. Sayangnya, isi pesan yang disampaikan memang tidak lucu.
Ya, hidup cuma sebentar. Sekelebat, lalu hilang.
Setuju.
Dan beruntungnya kita yang masih diingatkan-Nya meskipun dengan cara yang sederhana
eh ada mas mumu, makasih yaa Mas udah mampir dan berkomen. Semoga bermanfaat postingan eikeh.. 🙂