Photo: favim.com
“Natal berarti memperingati hari lahirnya Juru Selamat—memperingati hari ulang tahun Tuhan Yesus. Kalau Tuhan Yesus yang berulang tahun, kenapa kemudian kita yang saling minta kado?”
Kalimat itu masih terekam jelas di memori saya. Seorang pembicara mengutarakannya dalam sebuah ibadah perayaan Natal dua atau tiga tahun silam. Jujur, saya tergelitik sekaligus miris. Otak saya berputar-putar dan pada akhirnya mengiyakan pernyataan beliau. Konyol memang ketika justru kita, tamu undangan, justru meminta kado pada Si Punya Hajatan. Atau mungkin inilah budaya.. Entahlah.
Jauh sebelum Natal bergema, beberapa bulan silam, saya sempat bertanya-tanya: “Apakah Natal?”
Lupakan soal baju, makanan, perayaan, atau hal lainnya. Tahun ini saya mau Natal yang berbeda. Natal yang berdua, antara saya dan Tuhan. Mengoreksi apakah yang telah saya perbuat sebagai wujud rasa syukur keselamatan yang diberikan. Mengoreksi perilaku, perkataan, perbuatan saya, sudahkah mencerminkan Natal? Dan berbagai pertanyaan refleksif lain yang membuat saya tercenung begitu lama akan makna Natal.
Hingar bingar perayaan Natal di berbagai tempat, pusat perbelanjaan yang heboh dengan pita dan lonceng Natal, koran yang dijamuri berbagai penawaran paket perjalanan ziarah ke Yerusallem, beragam program televisi yang menayangkan acara bertema Natal, dan masih banyak hal lain berbau Natal justru membuat saya (hari ini) makin merenungi Natal.
Apakah Natal berarti berbelanja baju, sepatu, dan tenggelam dalam gemerlap diskon hingga 70%+20%? Apakah Natal kemudian menjadi sarana singgah ke luar negeri? Ataukah Natal justru terasa ketika sebuah keluarga menonton program Natal di televisi sambil mengunyah nastar di tengah kemilau pohon Terang?
Saya tak menilai “miring” mereka yang merayakan Natal yang hingar bingar. Poin saya adalah esensi Natal itu sendiri.
Ketika minggu-minggu menjelang 25 Desember, orang-orang sibuk menyertakan Have Yourself a Merry Little Christmas atau Jingle Bells dalam playlist Winamp, iMesh, iPod, atau iTunes mereka, bagaimana dengan minggu-minggu lainnya selama setahun? Apakah lagu-lagu demikian juga masih menjadi penghuni tetap playlist mereka?
Mereka yang sering “titip absen” ke Gereja kini menjadi rajin ibadah persekutuan saat Desember tiba.
Mereka yang sering mengumpat “Anjing lo!”, tiba-tiba menjadi sering mengucapkan “Puji Tuhan, haleluyah!”
Inikah Natal?
Inilah refleksi saya. Jujur, saya benci ketika perayaan Natal hanyalah sebuah suasana emosional belaka.
Natal adalah saat dimana Juru Selamat turun ke dunia, lahir untuk mati demi menebus dosa umat-umat-Nya. Jika demikian, sudahkah bersyukur? Bagi saya, bersyukur bukan hanya sebatas “terima kasih, Tuhan.” Bersyukur adalah sesuatu yang dalam dan personal. Jika definisi tersebut dihayati, maka saya yakin, bersyukur akan lebih terefleksi dalam perbuatan.
Yang lebih miris lagi adalah ketika Natal menjadi ajang komersialisasi media, pusat perbelanjaan, travel agent, atau provider telepon seluler dalam memberikan paket murah. Dan masyarakat (khususnya yang merayakan Natal) pun berbondong-bondong ikut serta.
Sekali lagi, inikah Natal?
Photo: etsy.com
Tak berarti pula ketika Natal lalu kita mengurung diri karena anti hingar-bingar perayaan. Namun, ketika baju baru, diskon, pemutaran lagu Natal, film, dan hal-hal superficial lainnya menggantikan makna Natal sebenarnya, inilah masalahnya.
Posting ini hanyalah sebuah sharing refleksi saya tanpa bermaksud menggurui siapapun. Saya menghargai setiap orang yang mempunyai cara yang berbeda dalam merayakan Natal. Tetapi pikirkanlah kembali ketika kita terus menjadi target komersialisasi Natal yang terus-menerus termakan suasana.
Christmas isn’t Christmas, till it happens in your heart. Somewhere deep inside you is where Christmas really starts.
Deg! seperti tertampar, tapi selalu bersyukur karena Tuhan selalu memberi pelajaran berharga dari setiap hal. Hikz.. Nice posting, Septa. Ini jadi semacam refleksi buat saya.
Selamat natal. Tuhan memberkati. 🙂
makasih Eduuu udah mampir dan ninggalin jejak 🙂 Senang bs kasih berkat juga. Tuhan memberkati…