Dia

Saya bertemu teman SMA 3 hari lalu. Kami makan di sebuah restoran jepang. Kami seiman. Sebelum makan, saya melipat tangan, menutup mata, dan berdoa. Ia juga berdoa, hanya tidak melipat tangan. Saat saya membuka mata dan hendak melahap makanan di depan saya, dia bertanya, “Emang kalau berdoa harus tutup mata dan lipat tangan ya?”

Saya tercekat. Ada jawaban di kepala saya. Jawaban itu berputar-putar, tapi sporadis. Saya sulit memformulasikannya menjadi satu kalimat yang baik dan benar. Akhirnya saya sok sibuk dengan makanan. Dia pun menjawab, “Biar lebih khusyuk ya berdoanya?”

Saya nyengir dan mengangguk sekenanya.

Pertanyaanya itu cukup tajam dan membuat saya berpikir. Hmm. Ya, saya berdoa, melipat tangan, dan menutup mata. Biar apa? Biar dilihat orang? Bukan. Bukan itu. Tapi hmm.. aduh bagaimana bilangnya?

Sudah hampir setahun kami tidak bertemu. Secara fisik ia tak banyak berubah. Hanya deretan giginya sekarang dibentengi kawat. Atas-bawah. Tubuhnya lebih ramping. Tangannya masih berbulu. Rambutnya? Masih sama seperti dulu. Ada rambut-rambut tipis di sekitar dagu dan rahangnya. Orang bilang brewok. Ah, ya… teman saya ini laki-laki.

Kelar makan, kami pindah tempat ke sebuah restoran western yang lebih nyaman untuk sekedar bercerita panjang lebar. Dan benar…

Dia bilang, seringkali kita berdoa, tutup mata, tangan terlipat. Hanya sebatas itu. Padahal setiap detik hidup kita adalah untuk bercakap-cakap dengan Tuhan. Tak masalah kalau hanya percakapan singkat: “Tuhan aku bingung. Enaknya gimana ya?” atau “Tuhan kalau aku beli sepatu ini, boleh nggak ya? Takutnya ada keperluan penting di kemudian hari.”

Saat menunggu busway, antri, atau di jalan sekalipun kita sebenarnya bisa berdoa. Tak perlu tutup mata. Tak perlu melipat tangan. Biarkan hatimu yang bicara pada Tuhan. Tentang apa? Tentang apa saja! Apa saja! Bagaimana mungkin kita bisa mengenal Dia lebih dalam kalau komunikasi hanya sebatas rutinitas? Artinya, jangan batasi aktivitas doa dalam kerangka menutup mata dan melipat tangan. Buka telinga! Biarkan telinga mendengar suara-Nya juga. Itu komunikasi yang seimbang, komunikasi dua arah.Tanpa bermaksud menjustifikasi satu sama lain, kami pun larut dalam obrolan tentang Tuhan.

Soal doa, saya pun bilang bahwa seringkali saya terjebak dalam luapan keinginan berbelanja. Baju. Sepatu. Tas. Gadget. Semua! Seringkali berkat materi yang Tuhan berikan membuat saya larut menulis daftar barang yang harus dibelanjakan. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk selalu berdoa sebelum berbelanja. Tidak! Bukan untuk terlihat sangat rohani. Tapi memang hanya Dia yang tahu apa yang benar-benar saya butuhkan. Dia yang tahu apa yang akan terjadi dengan keuangan saya di kemudian hari. Sederhana, tapi ini dalam hal sekecil ini pun saya masih kelabakan. Bukankah mengandalkan Tuhan diperlukan dalam hal sekecil apapun?

Teman saya ini bisa main piano. Soal suara, jangan tanya! Suaranya merdu. Women will be melted because of his heavenly voice. Dia bilang bahwa seringkali ia terlalu nyaman berenang di permukaan kehidupan. Menikmati apa yang ada. Padahal ia bisa menyelam lebih dalam dan menemukan banyak hal indah dalam rencana Tuhan. Ia pun menyelam lebih dalam. Ia mencoba dunia MC dan mencemplungkan diri ke dunia kantor. Seolah Tuhan sengaja mencemplungkan ia ke kandang singa. Pilihannya hanya dua: mati diterkam singa, atau jinakkan singa dan binatang buas itu akan menjadi teman yang baik. Nyatanya ia mampu menjinakkan kekerdilan nyalinya!

Saya pun menyambung kisah. Pernah suatu kali saya terobsesi untuk meraih sebuah pekerjaan. Saya tahu saya mampu. Saya sanggup. But I gained nothing. Justru omelan ini-itu saya terima bertubi-tubi. Mereka tak puas dengan apa yang saya kerjakan. Pikiran saya lelah. Badan capek, apalagi hati. Ough! Saya stress. Sampai akhirnya saya berada pada satu titik: menyerahkan semuanya pada Tuhan. Ketika Tuhan berikan tugas untuk dikerjakan, maka akan saya kerjakan sebaik mungkin untuk Tuhan. Tak perlu pujian orang. Tak perlu obsesi berlebih. Nyatanya, apa yang saya dapat justru lebih gila! Saya di-hire kantor prestisius ini. Gila! Pekerjaan Tuhan memang gila! Artinya, obsesi tak salah asal menyerahkannya pada Tuhan dan terus mengerjakan yang terbaik tanpa perlu pusing-pusing soal omongan orang.

Dia pun bermisi bersama teman-temannya untuk membuka warung nasi 2000 di daerah Jatinegara. Maksudnya, hanya dengan Rp 2000, pembeli sudah bisa mendapat nasi, 2 jenis lauk, dan sayur. Mungkin ini bukan proyek profit oriented. Tapi apalah artinya mendapatkan keuntungan kalau ternyata proyek itu menjadi berkat buat orang-orang tidak mampu di wilayah tersebut?

Saya lagi-lagi tercekat. Kami punya misi yang sama hanya beda wujud. Saya berencana membeli satu dus makanan ringan, entah biskuit atau wafer. Makanan ringan itu nantinya akan saya berikan kepada anak-anak jalanan, pengamen cilik, atau bocah-bocah pengemis. Ide ini terinspirasi dari sejumlah mahasiswa di Bogor yang memberikan susu UHT dengan tulisan motivatif (seperti “Rajin Pangkal Pandai”) di kemasannya. Tujuannya agar anak-anak ini tidak money oriented. Apa jadinya bangsa ini kalau bocah-bocah kecil sudah mata duitan? Daripada uang itu dibelikan rokok, narkoba, atau malah disetor ke koordinator mereka, bukankah lebih baik memberikan makanan atau minuman yang bermanfaat untuk kesehatan mereka?

Sayangnya, misi kami berdua belum terwujud. Tapi kami yakin, Tuhan pasti bantu.

Kami tahu bahwa kami harus menjadi terang untuk lingkungan sekitar. Tidak salah untuk aktif melayani Tuhan di tempat ibadah. Tapi seringkali kita lupa untuk juga memberikan terang itu kepada lingkungan sekitar yang belum mendengar Kabar Baik. Bukanlah lampu senter akan lebih berguna di tempat gelap dibandingkan di tempat terang? Bukankah sehari itu 24 jam? Maka, berikan dampak positif untuk sekitar sepanjang hari. Melayani Tuhan bukan berarti harus menjadi penginjil, worship leader, atau apalah! Menunjukkan kasih kepada sesama dalam tindakan nyata sehari-hari juga termasuk pelayanan. Kalau bagian kita bukan dalam penginjilan, maka kerjakan apa yang kita bisa sebaik mungkin untuk Tuhan. Itu pun pelayanan.

Dia bilang: Pekerjaan Tuhan itu tidak masuk akal ketika kita menggunakan akal. Saya bilang: Ya, memang pekerjaan Tuhan itu melebihi akal manusia.

Kami saling menatap lekat seakan setuju dengan berbagai celoteh tentang Tuhan, makna hidup, doa, dan pelayanan. Percakapan pun berujung pada satu kesimpulan bahwa Allah yang kami sembah adalah Allah yang hebat. Allah yang mengerti. Allah yang dahsyat. Allah yang rock ‘n roll.

Dan kami berdua sangat bersyukur karena sejak semula telah ditetapkan sebagai pengikut Kristus. Kami diselamatkan. Kami tahu kebenaran dan kasih. Dan kami dipakai menjadi alat Tuhan sejak masa muda kami.

Dalam perjalanan pulang, saya teringat satu ayat dalam injil Matius 18: 20, bunyinya: Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.

Dan saya yakin, Yesus ada di tengah kami berdua malam itu. Amin.

No Comments

Leave a Reply