Perbincangan Semanggi-Pasar Minggu

Setelah sekian lama tidak bertemu, akhirnya Tuhan mengizinkan saya dan seorang teman bertemu dalam sebuah kesempatan. Tak perlu diceritakan bagaimana momen pertemuan kami awalnya. Klimaks kisah ini justru pada perjalanan pulang kami.

Teman saya itu seorang mahasiswi sebuah Sekolah Tinggi ternama yang (di mata sebagian besar orang) dinilai cukup mahal. Ia pribadi yang menyenangkan. Gaya berpakaiannya selalu mengikuti tren. Jemarinya selalu menggenggam Blackberry. Isi otaknya yang membuat saya betah berlama-lama ngobrol dengannya. Dia cerdas!

Perjalanan pulang kami disambut kemacetan. Rrr, pukul 18.45 memang membuat sedikit emosi. Kami hanya berdua. Dia menyetir, saya ngoceh. Perpaduan hebat!

Dua wanita usia 20-an ini pun mulai larut dalam pembicaraan malam. Jangan berpikir bahwa kami berdiskusi soal pria. Topik malam itu berat: Indonesia.

Kami tak pernah berdiskusi soal ini sebelumnya. Tren fesyen terbaru, dunia Public Relations, pria atau hal-hal konyol yang terjadi dalam hidup kami adalah topik kesukaan kami.

Mungkin karena euforia HUT RI ke-65 beberapa hari silam yang membuat kami begitu bersemangat. Ah, tapi semoga saja tidak. Karena secara pribadi, ini adalah topik yang cukup lama membuat saya berpikir panjang.

Kami berceloteh soal kekecewaan pada pemerintahan sekarang yang seringkali sibuk pada saat yang tak tepat. Menulis lagu kemudian buku soal dirinya di masa-masa genting saat tabung gas meledak dan berbagai kasus belum kelar. Bukan tak boleh berekspresi, tapi tepatkah waktunya?

Lalu ia pun mulai ingat masa kecil saat ia begitu bersemangat menonton Thomas & Uber Cup di televisi. Entah karena jarangnya keluarga yang memiliki televisi atau bagaimana, tapi rumah Neneknya selalu penuh saat pertandingan tersebut. Semua duduk di depan layar televisi, serius, dan seketika berubah riuh berteriak “IN-DO-NE-SIA!!!”, meski atlet tak juga mendengarnya.

Tapi entah kemana semangat itu saat kami tumbuh dewasa. Tiap rumah memiliki televisi, tapi sorakan mendukung Indonesia seringkali melorot. Yaah, walaupun pada akhirnya masyarakat menyemangati via Twitter. Tapi kami rindu sorakan itu.

Seringkali kami pun sedih dengan kondisi bangsa yang terus dirundung duka. Salahkah lirik “Ibu Pertiwi” yang selalu bersusah hati? Di detik berbeda, kami berdiskusi soal kekayaan budaya dan alam Indonesia yang sering dililit masalah, entah dengan negara tetangga ataupun perusahaan asing.

Sulit untuk menceritakan betapa bergeloranya hati kami malam itu. Perjalanan Semanggi-Pasar Minggu terasa terlalu singkat. Tapi mungkinkah kami hanya mengeluh? Tidak!

Setiap masalah selalu ada solusi, jika tidak ada solusi, maka ia bukanlah masalah.

Bukankah tidak menitip absen saat kuliah dan tidak menyontek saat ujian adalah andil yang besar dalam pembangunan bangsa? Karena artinya, generasi muda turut mengubur bibit-bibit korupsi. Bukankah korupsi berawal dari hal kecil, seperti korupsi absen dan jawaban yang tidak seharusnya menjadi miliknya?

Lalu, membuang sampah di tempat sampah, menyeberang di trotoar atau jembatan penyeberangan adalah hal kecil yang berdampak besar. Tidak memberikan “uang damai” saat ditilang, menggunakan produk Indonesia (hei, produk kecantikan saya dari Indonesia, lho), dan… Aaah terlalu banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengubah negeri, termasuk dalam bidang yang kami geluti sekarang ini.

Sialnya, begitu sampai di Pasar Minggu, kami pun sadar bahwa kami tak sedemikian mampu untuk menjalani proses pembangunan itu. Ada yang salah. Itu yang terakhir.

Rindu kami kelar. Berujung pada sebuah semangat, untuk Indonesia.


for my dearest, DF, thanks God I met you and swim across the sea and ocean 🙂

2 Comments

  • Dewi Fitrina October 30, 2010 at 2:10 am

    Nice story 🙂 Simple, dan mengandung semangat nasionalisme yang tinggi.. Yeah.. Indonesia…!!!!

    Reply
    • Septa Mellina October 30, 2010 at 1:30 pm

      Makasiiih De.. The night was so inspiring ya, jarang2 kita ngobrol kayak gitu 🙂

      Reply

Leave a Reply