Hari ini saya terpikir untuk keluar dari kotak nyaman saya. Hidup di perumahan dengan tetangga yang hanya tersenyum saat bertemu. Terhipnotis dengan kehidupan jetset yang di lain waktu berbalik 180 derajat di sebuah boks bernama televisi. Sibuk dengan ponsel dan pesan-pesan pendek. Iklan blackberry yang makin ganas di koran. Belum kelar menghela napas, sudah ada Android yang entah pecah dari asteroid atau apa.
Semua yang serba canggih.
Tapi tiba-tiba hari ini saya merindukan kehidupan yang jauh dari teknologi. Tanpa ponsel. Tanpa laptop. Tanpa televisi. Tanpa radio. Tanpa jejaring sosial dan tetek bengeknya.
Saya kepengen hidup di desa. Bermain lumpur. Menarik dan mengulur tali layang-layang. Lalu bermain air di sungai. Hidup di bawah atap sederhana. Makan dengan piring sederhana dengan nasi hangat, tempe goreng, dan sambal jeruk limau. Lalu meneguk teh tubruk dari cangkir bercorak loreng hijau.
Mungkin ini sekedar kelelahan saya dengan berbagai kecanggihan teknologi yang (ternyata) makin menuntut manusia untuk up to date. Melelahkan. Ya, di satu sisi saya merasakan kecanggihan ini melelahkan dan membosankan. Bukan soal bersyukur atau tidak. Mungkin kalau kau berada di posisi ini, kau akan menemukan intinya. Susah dijelaskan.
Ya, sesulit menjelaskan bagaimana Facebook akhirnya mempertemukan saya dengan seorang teman lama yang sudah bertahun-tahun tak bertemu. Atau sesulit memahami bagaimana nilai privacy menjadi harga yang mahal. Atau hmm… mungkin bagaimana sebuah berita menyebar begitu cepat di Twitter.
Tahun 90-an, tak masalah ketika tak ada telepon di rumah. Tak masalah kalau harus menunggu berhari-hari balasan surat dari saudara di pulau seberang. Tapi hari ini semuanya menjadi masalah ketika sebuah pesan pendek tak kunjung dibalas, padahal hanya perlu menggenggam ponsel dan menekan tombol-tombol bertuliskan huruf dan angka itu.
Teman baik saya bilang, hidup sederhana itu soal bagaimana kita menjalani hidup itu sendiri tanpa perlu menghilangkan teknologi. Benar. Saya pun tak mau kembali ke era primitif. Hanya, lelah…
Saya lelah melihat pribadi yang sibuk dengan buah beri hitam mereka. Di jalan, di mall, di kereta. Saya lelah ketika orang sibuk mengingat jadwal sinetron ini dan itu. Saya lelah dengan manusia-manusia yang makin apatis.
Semoga saja nanti malam saya mimpi tinggal di desa yang bilang tadi. Setidaknya, saya bisa merasakan hidup sederhana tanpa intervensi teknologi. Setidaknya, dalam mimpi saja itu sudah bagus…
No Comments