Menunduk: Renungan Tentang Hidup Yang Utuh

Dua bulan terakhir saya belajar hal baru soal hidup. Hal ini belum pernah terlintas di pikiran saya sebelumnya. Hal sepele dan seringkali diremehkan, tapi justru dari sinilah hidup bisa dimaknai lebih bijak.

Ketika saya lapar, maka saya makan. Saya menikmati setiap makanan dan minuman yang tersedia. Terkadang itu pun tak cukup. Saya makan ini, makan itu, minum ini, minum itu sampai saya sadar perut saya membuncit dan nyaris sakit karena kekenyangan. Tapi akhirnya saya belajar untuk makan secukupnya karena di luar sana ada banyak orang yang juga sakit perut. Bedanya, saya sakit perut karena kekenyangan, mereka sakit perut karena kelaparan.

Ketika saya tidak terlalu lapar, saya tetap makan. Seringkali saya menyisakan makanan untuk dibuang. Alasannya? Saya sudah kenyang dan tidak sanggup memasukan lebih banyak lagi makanan. Padahal, setiap butir nasi, tiap helai sayuran, setiap bumbu, butuh waktu bertumbuh yang cukup lama. Mereka ditanam, dirawat, sampai akhirnya bisa dipanen dan diolah menjadi bahan makanan. Butuh orang-orang telaten dan terampil untuk mengolah dan membudidayakan semuanya itu. Kalau saya tidak menghabiskan makanan, artinya saya tidak menghargai proses panjang pertumbuhan dan pengolahan makanan.

Dua hal baru ini saya dapat setelah membaca buku Selamat Pagi Tuhan karya Andar Ismail. Tentulah ini menjadi hal baru bagi saya yang seringkali makan kemaruk atau malah membuang makanan.

Sejak kecil saya tidak pernah gagal dalam bidang akademik. Soal peringkat di kelas, jangan coba-coba remehkan saya. Saya selalu mendapat peringkat 10 besar di kelas. Beberapa kali menjadi juara kelas. Selalu menjadi delegasi sekolah untuk perlombaan Bahasa Inggris. Dan semuanya membuat saya bangga, sekaligus sombong. Saya meremehkan arti pendidikan.

Saya pun diterima di Universitas Indonesia. Sayangnya, hingga kuliah saya tidak tahu untuk apa saya berkuliah. Tapi satu kejadian membuat saya sadar untuk apa saya belajar. Belajar sungguh-sungguh hingga ke perguruan tinggi adalah soal rasa syukur. Ada banyak anak kecil yang tidak bisa mengemban pendidikan, tapi saya bisa. Ribuan orang gagal berkuliah karena biaya yang mahal, tapi saya bisa. Banyak orang gagal masuk UI, tapi saya bisa. Artinya, belajar sungguh-sungguh dan bertanggung jawab adalah wujud rasa syukur dari setiap berkat yang Tuhan berikan dalam pendidikan yang saya emban.

Seringkali udara panas menyusup ke dalam rumah saya. Panas bukan kepalang, seperti sedang bersauna. Saya mengeluh sambil membayangkan nikmatnya berada di ruangan ber-AC. Hei, tidakkah kipas angin blower cukup untuk mendinginkan badan? Bukankah di luar bangunan rumah saya ada banyak orang kepanasan mengemis di pinggir jalan atau bahkan hidup berdempetan di kolong jembatan?

Kalau saya memperhatikan fesyen saat ini, ada satu sepatu yang ingin saya beli. Ankle boots. Entah bagaimana model spesifiknya, tapi yang pasti ankle boots. Harga berkisar 130-200 ribu. Bahkan mungkin lebih. Tapi entah kenapa saya selalu enggan membelinya. Bukan tak ada uang, tapi rasanya tak tega membelanjakan uang sebanyak itu untuk sebuah alas kaki. Harga sepatu idaman saya itu mungkin setara dengan uang SPP anak-anak SD. Lebih bijak kalau uangnya ditabung untuk masa depan.

Bukan hanya soal fesyen, gadget pun demikian. Saya tertarik untuk mengikuti mainstream dengan ber-Blackberry-ria. Alasan kebutuhan selalu saya tempatkan di posisi pertama. Tapi, kok saya enggan ya membeli BB? Selalu saja ada pertimbangan ini dan itu. Bukankah ponsel candybar yang sekarang berada di tangan saya masih berfungsi dengan baik?

Belakangan saya lebih sering menunduk ke bawah, melihat kenyataan hidup orang lain yang kurang beruntung. Hal ini membantu saya untuk lebih bersyukur terhadap setiap hal yang saya miliki.

Dan saya pikir, orang terkaya adalah mereka yang dapat bersyukur dan mau berbagi.

5 Comments

  • ritachiro August 19, 2011 at 2:17 pm

    Hmm.. I dont know how I could marooned to your private site
    I just… typing something at google and found your name
    “septamellina”

    a name that has been colored my childhood

    so, how’s everything sitta?

    it’s been a long time not seeing you, and got no news from you

    you’re moving, you’re deleting my account, you’re dissapear

    and the fact is : I miss you my old-closest-friend 🙂

    Reply
    • Septa Mellina August 19, 2011 at 4:18 pm

      Hi, you! How’s life there?
      Was totally surprised to receive a notification on my e-mail of your comment. I’m fine here, hope the same thing there. And thank you for dropping by to my site. I find my joy in writing. Hahahaha.. Have I ever told you this?

      Yes, I miss you too and all the old times we’ve shared. Oh how time flies!

      Reply
  • Septa Mellina August 19, 2011 at 4:23 pm

    God! How could I forget to ask your phone number? May I have your number, Ta? 😀

    Reply
  • rita chiro August 19, 2011 at 4:27 pm

    haha got surprised that you still remember
    where have you been? :p

    life is fine, well not going really good lately actualy

    and you know, i already knew how you good in writing, in junior high school I remember that you showed me ur fiction
    that so catchy, I thought :p

    so much things i need to ask to you
    but first, let me enjoy this cherish moment : finding-old-friend

    Reply
  • rita chiro August 19, 2011 at 4:42 pm

    haha how do you suppose me showing my number in this public area?

    can I have your soc network account? so I can send private message to you 🙂

    Reply

Leave a Reply