Memakamkan Janji

Cerpen ini dimuat di ceritapendekfiksimini.blogspot.com pada 20 Juli 2010. Dibuat berdasarkan Fiksimini saya: fiksimini RT @septmell: Ia membawa seplastik janji ke dokter, mau disuntik formalin. Silakan klik http://bit.ly/8X3jNA

<3

Sore itu semburat oranye menggelayut. Matahari perlahan undur diri, giliran malam unjuk gigi. Gedung-gedung berdandan dengan lampu kuning kemerahan yang meleleh dalam penatnya penghujung hari. Seperti biasa macet menghantui. Semua bersiap kembali ke rumah, tempat segala cinta melebur.

“Kau kapan ke dokter, Tar?” wajahmu beralih dari jendela, menatapku sedikit serius.

“Aku tidak sakit. Ini hanya pusing biasa, Djie. Percayalah.” kuteguk teh hangat yang tinggal setengah cangkir. Asapnya masih mengepul, padahal pelayan menyuguhkannya 45 menit lalu. Segenap rinduku turut mengepul di sana. Kemudian pecah dalam riuhnya suasana sore.

“Kau selalu bilang begitu: Tak apa, Djie. Hanya pusing biasa. Entah sudah berapa ratus kali kau mengeluh pusing minggu ini.” kau sedikit sewot. Tidak, kau sama sekali tak marah. Kau justru khawatir, hanya saja tak tahu bagaimana menyatakannya.

“Percayalah, aku tidak apa-apa.” aktingku berhasil membuat rasa khawatirmu melorot. Aku sendiri belum menemukan cara untuk mengakhiri rasa pusing yang makin menggila ini.

“Tapi kau harus tetap minum obat, Tar.”

“No way, Djie! Nanti dokter-dokter itu makin kaya..” selorohku. Tawamu lepas, matamu yang bundar kecil menyipit. Aku suka wajah khasmu saat tertawa. “Lagipula tak semua penyakit butuh obat, Djie.” Aku bersikeras.

“Dasar nakal!” katamu sambil duduk bersandar. Ada garis-garis kelelahan di wajahmu. Tapi matamu tetap berbinar terang. Bulu-bulu halus di sekitar dagu dan rahangmu seolah berebutan lahan.

“Kau pasti belum shaving.” kau tahu pasti bahwa aku tak suka pria berantakan dan oh… brewok hanya membuat wajahmu menjadi kotor, Sayang.

“Kalau sampai besok kau masih pusing, kita ke dokter. Tak peduli jam berapa pun, akan kutemani. Aku tak mau kau sakit!” kata-kata itu keluar seakan topik mencukur brewok tak pernah meluncur dari bibirku. Ah, Adjie, bagaimana mungkin aku tidak menyayangimu?

***

Aku mencoba menangis. Tapi persediaan air mataku sudah habis. Pusingku baru saja hilang 10 menit lalu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba muncul. Mungkin kau penyebabnya, Djie. Aku mengerang! Kutahan sakitnya sampai membuat tubuhku keringat dingin. Bahkan saat pusing itu nyaris mengiris kesabaranku, kau tak juga datang.

Kulirik lirih bulatan di dinding. Tepat pukul 2 pagi. Aku akan tidur. Aku tak mau pusing ini kembali mengganggu ketenanganku untuk istirahat. Tidak, lebih tepatnya aku tak mau bayanganmu merenggut segenap waktuku untuk terus memikirkanmu.

Kutarik selimut. Ah, nyaris saja aku melupakannya! Sebutir janji sebesar kelereng, kumasukkan ke dalam plastik bening. Janji itu menyebut bahwa kau akan mengantarku berobat. Ia berdenyut di dalam sana. Sedetik, dua detik, lalu mati.

***

“ Silakan disantap lasagna-nya, Nyonya…” ujarmu.
Aku nyengir. Kau tahu pasti makanan kesukaanku. Campuran bumbu, keju, pasta, dan sausnya membuatku lupa daratan. Seperti biasa kau selalu enggan makan makanan londho (Bule dalam Bahasa Jawa). Kau lebih suka mengamatiku lekat-lekat saat melahap makanan super lezat itu.

“Kalau nanti kita menikah, catering-nya juga akan masakan Italia, Tar?” tanyamu tiba-tiba setelah meniup uap cokelat panasmu.

“Ah.. Indonesia sajalah, Djie. Ikut adatmu atau adatku tak masalah. ” ujarku serius.

“Papa & mamaku mau pesta besar-besaran. Ini pertama kalinya mereka punya menantu. Seluruh keluarga akan diundang, termasuk yang di Manado, Ambon, Bangka, dan Sorong.”

Tawaku pecah! Rasanya geli juga membicarakan hal ini denganmu. Kau menghela napas. Matamu menerawang jauh. Lalu senyum itu merekah manis di ujung bibirmu. “Ah, sudahlah yang penting kita menikah.. Aku mencintaimu dan aku mau menikahimu. Itu saja.”

Jantungku berdetak cepat. Rasanya sama seperti pertama kali kau menyatakan cintamu semasa SMA dulu. Entah sudah berapa tahun kulewati denganmu. Tak ada yang aku ingini saat ini. Cuma kau. Kau saja.

“Eh, kamu mau kan menikah denganku?” tanyamu memastikan. Wajahmu polos sekali. Ada gurat kekhawatiran di sana. Mungkin takut kalau-kalau aku menolak ide brilianmu. Aku terdiam. Mengelap ujung bibirku dengan tisu dan menyapunya kembali dengan Bourjois warna peach andalanku. Aku berdiri sambil memberi isyarat kepadamu untuk pulang setelah membayar bill. Kau membukakan pintu mobil lalu mempersilakan aku masuk. Belum sempat aku duduk, kau kembali menanyakan hal yang sama.

“Astari, kau belum jawab pertanyaanku tadi. Aku tak mau menikah tanpa pasangan. Kau mau kan menikah denganku?” Aku berdiri menghadap tubuhmu yang tegap. Pintu mobilmu menjadi jarak pemisah antara tubuhku dan tubuhmu. Sepatu model peep toe dengan hak 7 cm ini ternyata tak mampu membuatku cukup tinggi di hadapanmu. Aku berjinjit dan… cup… Bibirku bertemu bibirmu. Tenang, Sayang, lipstick Bourjois-ku tak akan berbekas di bibirmu. Wajahmu berubah lebih ringan. “Aku rasa itu sudah menjawab pertanyaanmu, Djie.”

***

Di restoran yang sama. Duduk terdiam. Atmosfer ruangan ini berbeda, Djie. Nafsu makanku hilang. Rasa lasagna ini berbeda. Mungkin kau yang membuat semuanya hambar. Atau rasa sakit itu yang belum sempurna terhapus. Masih tersisa lubang dimana residu sakit berkubang di dalamnya.

Kulihat telepon genggamku. Bahkan tak ada pesan pendek yang biasa kau kirimkan menjelang senja seperti sekarang ini. Apa janji menikah itu masih berlaku? Sempat kutanyakan perihal ini padamu dulu. Kau hanya bilang: Aku mencintaimu, Astari. Aku juga dan aku pun butuh kepastian. Apa lagi yang kau tunggu? Bahkan saat tahun-tahun berlalu, kau masih tak bergerak. Entah kemana sekarang janji itu. Menguap begitu saja atau keburu usang dimakan waktu, lalu mati kaku?

Kuteguk teh hangat di hadapanku. Ada bekas lipstick-ku di bibir cangkir. Warnanya tak lagi peach, sengaja kupilih warna marun. Peach mengingatkanku padamu, Djie. Setidaknya teh hangat ini bisa meringankan pusingku sehingga aku bisa berpikir dengan logika yang baik dan benar.

Sebelum kuteguk tetes terakhirnya, kubuka tas. Ada plastik bening di sana dengan ratusan benda bulat sebesar kelereng di dalamnya. Setiap kali kuingat kau dan janji-janjimu, rasa nyeri menyasar tepat di hatiku. Lalu pecah menjadi gumpalan sebesar kelereng. Ia keluar begitu saja. Kadang menggelinding di balik kursi atau jumpalitan di kolong meja. Tapi yang pasti, ia selalu menghampiriku. Jumlahnya kini sudah banyak, Djie.

Kuraih janji pernikahanmu yang sebesar kelereng itu. Baru saja ia meluncur di lantai. Kemudian kumasukkan dalam plastik bening yang selalu kubawa. Ia berpendar. Teman-temannya sesama janji sudah mati di dalamnya. Warna mereka sudah pucat. Tak lama kemudian, pendarnya meredup dan benar-benar mati.

***

Bulan menggantung di langit bersama kerumunan bintang yang malu-malu bersinar. Angin bertiup menusuk. Kudekap erat tubuhku. Rasanya sweater ini tak cukup hangat.
Kau melirik ke arahku. Aku begitu akrab dengan tatapan itu. Aroma tubuhmu menyelinap ke sela-sela hidungku. Aku sempat tergila-gila dengan baunya dan selalu enggan beranjak tiap kali kau memelukku. Ah, itu dulu! Oh.. em… tidak, harus kuakui aku merindukan pelukmu, Djie.

“Pusingmu….” tanyamu seketika yang membuyarkan lamunanku.

“Jangan khawatirkan aku. Aku sehat, jauh lebih sehat dibanding tahun-tahun dulu.” Sengaja kupotong kalimatmu. Fisikku memang lebih sehat, tapi hatiku makin rapuh. Kaulah biang keladi semuanya! Kau tiba-tiba lenyap bertahun-tahun tanpa kabar dan saat ini kau datang. Kabar burung yang beberapa bulan ini kudengar membuatku menemukan alasan kenapa kau mendadak pergi tanpa pamit. Tapi toh aku tak sanggup mengatakan betapa kekesalan itu mengepul hingga ke ubun-ubunku.

“Sebaiknya kau tidur, Tar. Aku tak akan lama bertamu…”

Ya Tuhan, pria ini menyebut dirinya tamu? Bukankah beberapa tahun silam ia seperti anggota keluargaku?

“Aku hanya mau kasih ini.” sambungmu, sambil menyodorkan amplop persegi warna kuning gading dengan ukiran emas. Ada inisial huruf: AN – Adjie Nadia. Baiklah, aku sudah bisa menebak amplop macam apa itu.

“Jadi ini yang kau bilang mencintaiku dan mau menikahiku?”

“Aku bisa jelaskan, Tar…”

“Bertahun-tahun denganmu seperti tak cukup, Djie. Tak ada yang salah dengan kita. Kenapa kau tiba-tiba pergi? Kenapa kau datang lagi kalau hanya memberi undangan gila ini?!” Kecewaku mulai memuncak. Kau diam. Aku benci kebisuanmu, Djie! Kulempar undangan sialanmu itu. Ini kali pertama aku marah sejadi-jadinya. Secepat kilat kuambil plastik berisi janjimu yang serupa kelereng itu.

“Lihat! Ini janji-janjimu. Tak ada satupun yang terealisasi! Bahkan untuk menemaniku berobat sekalipun!”

Adjie terperangah. Ia tak menyangka janjinya bisa kukumpulkan. Wajahnya pucat. Kerongkongannya berkali-kali terlihat menelan ludah. Ia benar-benar kehabisan akal. Tanpa pikir panjang, kupakai sandal, lalu berjalan cepat keluar rumah.

“Astariii, mau kemana kau?!”

“Ke dokter!”

“Ah, jadi kau sudah mau berobat sekarang?”

Aku berhenti sebentar, menatapmu dari balik bahuku, dan menjawab pertanyaanmu, mungkin untuk yang terakhir kali. “SEPLASTIK JANJI INI AKAN KUBAWA KE DOKTER, MAU KUSUNTIK FORMALIN. AKAN KUMAKAMKAN PADA HARI PERNIKAHANMU!!!”

No Comments

Leave a Reply