Kepada Yang Terluka

Cerpen ini dimuat di Majalah Sastra Horison, edisi Mei 2004.

 

MATAHARI sudah mulai menunduk perlahan-lahan. Sinarnya mulai menghilang. Ia membuat lukisan mega di langit. Warnanya kemerahan bercampur keemasan. Dan kali ini, mega telah menguasai langit dengan kecantikkannya. Namun sinarannya membuat mataku harus menyipit. Bagiku mega tak cantik. Wajahnya saja memerah dan bercampur oranye. Apa cantiknya mega?

Malam sudah menyapaku dengan angin yang kian lama kian menusuk tulangku. Kupeluk lututku. Sia-sia. Pelukan itu tak mampu menghangatkan tubuhku. Haruskah kurajut lebih dulu sebuah baju hangat dengan benang wool? Atau aku harus memasukkan tubuhku ke dalam perapian agar kehangatannya sampai membakar tubuhku? Aku tak tahu.

Kutengadahkan kepalaku. Ada bintang. Ada bulan. Ada langit kelam. Dan ada aku. Aku benar-benar tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Seperti seekor anak angsa yang kehilangan induknya.

Ibu, Ayah, kaliankah itu? Kaliankah di balik langit kelam yang telah menghianatiku itu? Aku butuh kalian! Aku telah mencoba untuk menjadi gadis dewasa seperti yang kau ajarkan, Ayah. Tapi aku rapuh. Aku terlalu lemah untuk jadi kuat. Dan Ibu, aku butuh bahumu saat ini. Aku ingin menangis sekuat yang ku bisa. Aku sendiri. Aku merintih. Aku terluka, Ayah, Ibu.

Angin kembali bertiup. Kudekap erat-erat tubuhku. Aku bisa sedikit lega. Sedikit saja. Karena aku berhasil menitikkan air mata yang selama ini kupendam. Hatiku sudah tersayat. Terlalu sulit untuk ku obati. Yang kubutuhkan hanya Ayah dan Ibu. Tapi aku tak mengerti bagaimana untuk bertemu dengan mereka.

“Ta…” aku mengenal suara itu. Kenal sekali. Suara yang pernah mengisi hari-hariku. Suara yang selalu mengucapkan selamat malam. Dan suara yang telah menghianatiku.

“Ta…” ulangnya. Dia tahu dimana aku? Ya. Aku sudah terbiasa di sini saat aku merindukan Ayah dan Ibu. Di hadapan laut.

Suara itu tak lagi menyebut namaku. Si empunya suara memelukku dari belakang. Aku tak bisa menahan air mataku. Aku malu harus menangis di hadapan deburan ombak. Di antara tubuh pohon kelapa yang tinggi dan kurus. Aku cengeng! Sebut saja aku cengeng.

“Pergi…” desahku. Kau tahu, aku butuh banyak tenaga untuk berkata demikian. Ia tak pergi. Malahan ia makin mendekapku dengan erat. Selalu kubiarkan ia mendekapku dengan cara begini, dulu. Sekarang aku membenci caranya mendekapku. Oh, tidak. Aku tidak membencinya. Aku masih menyukainya. Tapi aku lupa bagaimana untuk menikmati pelukannya. Aku hanya ingat bagaimana cara ia menyakiti hatiku.

“Per..gi,” ulangku. Ia tak juga beranjak. Ia makin mendekapku. Tambah erat. “Aku tak dapat bernafas,”

Pelukannya mengendur dan ku harap ia lekas pergi. Setidaknya aku tak perlu lagi menatap wajahnya, itu sudah cukup. Kau tak akan pernah merasakan betapa hancurnya hatiku. Kau hanya butuh sebuah topeng penuh cinta dan kebaikan untuk menutupi rupa aslimu. Aku tak akan membencimu. Sungguh. Kau boleh pegang ucapanku. Aku hanya kecewa dengan ucapanmu semalam. Kau memang pemuda yang sangat jujur, aku akui itu. Tapi kejujuranmu itulah yang sungguh mengecewakanku.

“Aku tahu,” pria itu duduk tepat di samping. Tidak. Lebih tepatnya 30 cm dariku.

‘Tahu apa?”

“Kau kecewa. Maafkan aku,”

“Ya…ku maafkan. Aku hargai kejujuranmu,”

“Aku ingin kita seperti dulu,”

“Seperti apa?” potongku.

Pria itu terdiam. Dapat ku tebak bahwa ia ingin mengakui satu hal lagi. Bahwa ia menyayangiku seperti menyayangi almarhum adiknya. Tapi aku bukan adiknya! Aku hanyalah gadis lemah yang sama sekali tak memiliki keberanian untuk berlari. Ya. Aku ingin lari. Jauh ke sana. Sampai aku tak melihat rupa pria itu.

“Jadi…kau ingin kita putus?” pria itu melanjutkan kata-katanya.

“Bukan aku. Takdir menginginkan kita untuk mengakhiri hubungan tanpa arah ini,”
jawabku.

“Tapi, aku menyayangimu,” gumamnya.

“Aku pun demikian. Tapi kau tak bisa membohongi hatimu.”

Kami, aku dan dia terdiam untuk waktu yang cukup lama. Air mataku sudah hampir kering. Dan angin pantai kembali bertiup. Makin menusuk tubuhku. Sekarang waktuku telah tiba. Aku harus mundur satu langkah demi kebahagiaanya. Ia tak bahagia bersamaku.

“Pergilah bersamanya,” ujarku lemah.

“Kau tak apa-apa?”

“Aku sudah biasa. Pergilah…”

“Maafkan aku. Ini pasti sangat menyakitkanmu. Kau boleh datang padaku kapan pun kau mau. Aku akan merindukanmu,” ujarnya lembut. Sejurus ia mengecup keningku dengan penuh sayang dan sempat memelukku. Aku tak kuasa menahan cintaku padanya. Ku balas pelukannya. Pelukan yang terakhir.

Pria itu beranjak dari duduknya. Ia melangkah meninggalkanku dan sesekali berbalik menatapku.

Fajar sudah hampir tiba. Aku harus kembali ke rumahku. Semalam-malaman aku menangis dan merenungi betapa malangnya nasibku. Dan sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa menerima bahwa pria itu gay.
***

Jan ‘04

No Comments

Leave a Reply