Siang tadi, teman saya mengirimi saya pesan singkat. Pesan singkatnya berbunyi demikian:
Pernah kepikiran jadi novelis? Atau kerjasama buat novel gitu? Just wondering.
Dan saya pun membalasnya. Saya bilang saya pernah terpikir menjadi novelis. Tapi sedikit. Sedikit sekali. Saya lebih suka menjadi jurnalis ketimbang novelis. Jawaban itu meluncur dengan spontan. Tak ada karang-mengarang.
Alasannya? Hmm.. Bagaimana ya menjelaskannya. Ketika saya menulis cerita fiksi, saya mau tulisan itu lahir dari sebuah imajinasi. Tanpa paksaan. Tanpa embel-embel deadline atau keinginan pasar. Biarkan imajinasi itu bergerak semaunya tanpa pengaruh promosi, road show, royalti, dsb. Tentu lain cerita kalau menjadi jurnalis. Ada unsur deadline. Tapi toh saya akan tetap menulis berdasarkan idealisme seorang jurnalis: pemberitaan faktual, berimbang, bukan atas intervensi pihak lain, materi, atau kemauan pasar.
Perihal menulis fiksi, saya mau menikmati proses menulis sebagai sebuah perjalanan antara saya, tokoh-tokoh di dalamnya, dan konflik yang tercipta. Saya tidak mau proses menulis tersebut dipengaruhi faktor materi. Saya mau menulis untuk kepentingan menulis. Aturan ini mungkin hanya berlaku bagi saya pribadi. Penulis lain bisa jadi berbeda pendapat. Tak apa, karena toh ini bukan ukuran yang saklek.
Tapi inti dari menjadi novelis atau jurnalis adalah aktivitas menulis itu sendiri. Bagi saya, menulis itu ibarat terapi.
No Comments