Lalu Apa Sebutan Yang Tepat Untuk Kita?

Bisakah sebentar saja kita meneguk secangkir teh hangat lalu bercerita soal kepenatan dan kesesakan ini? Satu atau dua jam saja sampai matahari benar-benar turun sore ini.

Pernahkan kau berada dalam satu titik kelelahan dan tak tahu harus berbuat apa? Ketika segala target dan tuntutan tidak bisa kau penuhi, pernahkah? Atau pernahkah kau merasa bahwa segala beban bersarang tepat di bahumu? Atau…  saat segala ketidakmungkinan menari-nari bahagia di pelupuk matamu sampai segala harapmu perlahan pudar?

Langkahmu berat. Napasmu sesak. Pandanganmu buram. Kau tak seimbang. Kau limbung. Nyaris kosong. Bahkan menangis pun kau tak mampu, karena air mata pun enggan menggores pipimu.

Pernahkah?

Aku mau meneguk secangkir teh hangat denganmu. Biar kita bercerita sebentar soal kepenatan dan kesesakan. Ini buntu. Seolah tak punya jalan keluar. Tapi aku mau bercerita. Sebentar saja. Satu atau dua jam sampai matahari benar-benar turun sore ini. Sampai semburat sandikala muncul lalu menertawakan betapa pengecutnya kau dan aku. Biarkan malam juga menyanyikan lagu kemenangan atas kepengecutan kita.

Aku pernah menertawakan diriku sendiri. Sering. Karena kebodohan-kebodohan itu datang bergantian. Lucu. Tetapi ini bukan waktu yang tepat untuk menertawakan diri sendiri. Aku tak akan menertawakanmu, begitu juga kuharap sebaliknya.

Ini waktu kita — antara aku, kau, dan mental pengecut yang kita punya.

Kita bukan pengecut!

Itu katamu? Lalu apa sebutan yang tepat untuk kita? Jagoan-yang-kelelahan-dan-mundur-sebelum-berperang?

Kau mengernyitkan dahimu. Tak setuju.

Lalu hening.

Bisakah sebentar saja kita meneguk secangkir teh hangat lalu bercerita soal kepenatan dan kesesakan ini? Satu atau dua jam saja sampai matahari benar-benar turun sore ini. Sampai semburat sandikala muncul lalu menertawakan betapa pengecutnya kau dan aku. Biarkan malam juga menyanyikan lagu kemenangan atas kepengecutan kita.

No Comments

Leave a Reply