Satu Jam Di Sebuah Sore

prose_satu jam di sebuah sore_featured image

 

Pria itu meneguk tetesan terakhir kopi di cangkirnya. Diletakkannya cangkir itu perlahan di meja kayu bundar. Ada bekas lengkungan bibirnya di bibir gelas. Kutatap sekilas, hatiku gemetar.

Kami kembali bertatapan. Kami berbicara dalam bahasa yang hanya kami berdua pahami. Tapi soal makna, kami tak tahu pasti. Ia kembali berkisah soal ini itu. Sesekali ia bercerita soal idealismenya. Aku terdiam. Dua-tiga kali kepalaku mengangguk. Semoga ia tak tahu aku hanya pura-pura mengerti.

Ini kali pertama aku hanyut dalam sorot matanya yang begitu tenang dan hangat. Aku mau merengkuhnya sampai matahari sisa separuh. Aku mau bersandar di bahunya satu atau dua jam tanpa jeda.

Ia, pria dengan sorot mata yang tenang dan hangat itu melirik jam tangannya. “Sudah malam. Kita pulang,” katanya. Aku mengangguk. Tidak! Sejujurnya pulang adalah ide terburuk yang pernah kudengar sepanjang hari ini.

Aku mau bersamanya lebih lama lagi, menghabiskan tiap detik tanpa berkata-kata selain tersenyum dan merelakan diriku tenggelam dalam sorot matanya. Aku mau mempercepat langkah jarum jam agar esok segera datang. Aku harus bertemu dia esok hari apapun yang terjadi. Aku mencandunya…

No Comments

Leave a Reply