Tentang yang Sering Terlupakan
Puisi ini tentang segala pikiran dan omongan orang yang begitu bising, membuat lupa tentang keindahan kecil dalam hidup. Ditulis di awal musim semi 2019.
Puisi ini tentang segala pikiran dan omongan orang yang begitu bising, membuat lupa tentang keindahan kecil dalam hidup. Ditulis di awal musim semi 2019.
This is a poem about a man who looks like a poem; who sounds like a soft-spoken rhyme to your longing soul.
Malam ini, aku mau menulismu. Mungkin tentang lekuk matamu yang dibingkai alis yang tak terlalu pejal. Mungkin juga soal hidungmu yang sempurna. Atau bagaimana kau menggenggam tanganku seraya berusaha fokus pada kemudi mobil saat kita membelah malam di Jakarta. Aku mau menulis tentang betapa aku kecanduan bersandar di bahumu hingga terlelap. Sesekali akan kuselipkan cerita tentang sisi manjaku, keluhan-keluhanku, mimpiku……
Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku merindumu. Rindu ini nyaris tumpah, kepenuhan. Jika dulu ia datang malam-malam, kini ia datang lebih awal. Lebih sering. Lebih menyiksa. Menurutmu, rindu itu menyenangkan? Tidak. Merindumu itu siksaan. Merindumu lebih sakit dari perpisahan itu sendiri. Aku bertemu denganmu. Melihatmu dari jarak jauh, lalu rindu itu lenyap. Terobati. Kadang aku pun sial. Bertemu denganmu membuat rinduku…
Rindu selalu punya jadwal. Ia datang pelan-pelan pada malam hari. Tepat ketika selembar selimut ditarik hingga sebatas dagu. Ia tak pernah datang terlambat. Sekitar pukul 10 atau 11 malam, ia tiba. Sesekali ia datang lebih awal. Sikapnya manis, lembut. Kau bisa menikmatinya. Tapi di lain waktu, ia bisa sangar dan nyaris membunuhmu. Dan malam ini ia datang padaku. Sebab sejak…