Saya Seorang…

Cerpen ini dimuat di Majalah Sastra Horison, edisi November 2005

Teman-teman selalu menyuruh saya untuk mengirimkan formulir untuk menjadi seorang model. Saya sendiri tidak mengerti kenapa mereka sok tahu tentang diri saya. Mereka seolah sibuk mengurusi keberadaan saya.

Di mata guru-guru, saya termasuk siswi kelas III IPS yang rajin. Kemampuan saya di bidang eksakta memang tidak terlalu baik. Namun saya mampu menghapal dua belas halaman buku paket sejarah hanya dalam waktu satu malam.

O iya, saya lupa kalau kita belum berkenalan. Nama saya Prawita Anggia. Teman-teman memanggil saya Wita. Terkadang teman-teman lelaki saya memanggil saya dengan Witong, Geboy, atau bahkan Curut. Bagi saya dengan panggilan apapun saya disapa, itu tidak jadi masalah.

Teman-teman sangat menyukai rambut saya yang panjang dan hitam. Jika pelajaran kosong, mereka terkadang menyisiri rambut saya. Mengepangnya menjadi dua bagian. Mengonde rambut saya. Mengikatnya dengan pita warna-warni.

Di sekolah, saya tidak pernah terlambat datang ke sekolah selama tiga tahun berturut-turut. Saya selalu mengerjakan pr. Saya tidak pernah mengobrol saat guru menerangkan. Saya tidak pernah mendapat nilai empat untuk pelajaran apapun. Saya selalu mendapat peringkat dua di rapor. Bahkan saya selalu mencetak prestasi. Prestasi apa saja. Kejuaraan baseball. Mengarang. Baca puisi. Story telling. Pidato. Kejuaran renang. Panjat pinang.

Saya punya banyak teman: Ariel, Panji, Sonya, Henry, Jeanny, Wawan, Tika, Lulu, Heni,Yunus, Nicholas…

Di antara sekian banyak teman saya, ada seorang teman yang sangat berarti bagi saya. Namanya Mariska Hendrawan. Panggilannya Maris. Dia teman sekelas saya sejak SMP. Maris berparas cantik. Maris sangat cerdas. Ia jago berbahasa Mandarin dan Prancis. Dia seorang model freelancer. Kadang jika Maris tidak masuk karena ada fashion show, saya sering merasa kesepian.

Suatu hari Maris tiba di sekolah pukul 07.20 WIB. Pak Edward, guru geografi kami, menegur Maris dengan kata-kata yang tajam. Saya tidak rela Maris diperlakukan seperti itu. Tapi, untunglah, Maris tidak disuruh belajar di koridor sekolah.

“Aku ketiduran, Wit. Semalam aku pulang jam dua pagi. Aku main sinetron,” jelas Maris. Saya tersenyum. Maris memang berbakat. Wajar kalau ia menjadi aktris sinetron. “Bagaimana dengan Henry? Kamu terima dia jadi pacarmu?”

“Tidak. Saya tolak, Ris,” jawab saya santai. Maris mengernyitkan dahinya. Maris tampak kecewa. Saya jadi tidak enak dengan Maris. Ia sudah susah payah memperkenalkan saya dengan Henry—cowok pindahan dari Banjarmasin yang populer di sekolah karena tampangnya yang keren— tapi nyatanya saya menolak cinta Henry.

“Kenapa? Aku rasa Henry tidak jelek. Otaknya juga lumayan. Kamu punya pacar, ya, Wit?” Maris terus menuntut alasan mengapa saya menolak Henry.

“Tidak, Ris, saya tidak punya pacar,” jawab saya dengan jujur. “Kamu sendiri, kenapa belum punya pacar? Kamu kan cantik, model, artis sinetron, lagi!”

Maris tersenyum manis. “Aku menunggu seseorang sampai ia menyatakan perasaannya padaku, Wit.”

Saya merasa lega ketika mendengar pernyataan Maris. Lega sekali.

Maris menjejalkan sepotong donat bertabur cokelat butir ke dalam mulutnya yang mungil. Saya memandangnya dengan pandangan menyelidik. Maris memang cantik. Sangat cantik!

“Oya, Wit, besok sampai empat hari kemudian aku tidak bisa masuk sekolah,” ujar Maris kemudian.

“Kenapa?!”

“Aku harus syuting ke Lembang,”

Napas saya menjadi sesak. Tubuh saya tiba-tiba lemas. Esok sampai empat hari mendatang saya tidak akan bertemu Maris. Saya pasti akan sangat merindukan Maris.

*

Esoknya Maris benar-benar tidak masuk sekolah. Saya duduk sendiri. Sepanjang pelajaran saya tidak bersemangat. Tidak ada Maris di samping saya. Tidak ada yang mencubit pipi saya. Tidak ada yang mengepang rambut saya. Tidak ada gelak tawa antara saya dan Maris. Tidak ada wangi parfum Maris yang lembut.

Saya pulang sekolah sendiri. Henry menghampiri saya. Dia mengajak saya pulang bareng. Saya sama sekali tidak mengindahkan ajakannya itu. Kemudian Ariel mengajak pulang bareng. Saya juga tidak mau. Kemudian Dimas. Samuel. Jack. Nicholas. Dian. Tapi saya tetap tidak mau.

Saya merebahkan tubuh di atas ranjang. Di dinding, di cermin, di jendela, di pintu, di tiap sudut kamar saya hanya ada bayang-bayang wajah Maris. Saya ingin sekali menyapanya lewat telepon. Tapi telepon rumah dikunci oleh Bunda. Ingin mengiriminya SMS, tidak ada pulsa. Saya harus tetap bertahan dalam kondisi seperti ini.

*

Kemudian Maris masuk sekolah. Hati saya berbunga-bunga. Tapi Maris sedikit berubah. Ia tidak seperti yang dulu. Ia selalu memperhatikan penampilannya di cermin. Maris genit! Saya benci cewek genit!

“Kamu sudah cantik, kok. Buang saja cerminnya,” tukas saya suatu hari. Maris terbengong-bengong.

“Oya? Penampilan itu penting untuk seorang artis. Aku tidak mau sehelai rambutku berantakan, apalagi make up yang luntur terkena keringat,” jawab Maris. Benar, Maris sungguh telah berubah.

“Kamu berubah, Ris! Kamu bukan sahabat saya. Saya benci kamu!” Saya berlari meninggalkan ia di kelas. Berlari sejauh mungkin. Saya benci Maris!

“Wita, maafkan aku ya? Aku tidak bermaksud…” suara Maris membuat saya menghentikan tangis. Saya menoleh, menatap wajahnya.

“Maris….” Saya memeluk Maris dengan penuh kasih. Saya harap Maris tetaplah Maris. Tidak akan berubah.

*

Hari berikutnya, semua kembali seperti semula.

Suatu saat Henry menghampiri saya dan Maris yang sedang menyantap semangkuk mie ayam di kantin.

“Hai, cewek! Boleh makan di sini, nggak?” tanya Henry. Saya dan Maris mengangguk. Henry duduk di antara saya dan Maris. Saya biasa saja duduk di dekat Henry. Tidak ada perasaan khusus.

“Sinetron kamu kapan tayang, Ris?” tanya Henry.

“Eng…mungkin pertengahan tahun depan,” jawab Maris sedikit kikuk. Semenjak tadi saya sibuk dengan mie ayam saya. Saya sama sekali tidak peduli dengan Henry.

“Oya, Wit, aku ada formulir untuk jadi model di sebuah majalah remaja. Kamu ikut, ya?” Henry berusul.

Saya menatapnya dengan tajam. “Lebih baik formulir itu kamu simpan, kemudian berikan sama anakmu nanti,” celetukku. Henry terdiam.

Pulang sekolah aku bareng dengan Maris. Henry lagi-lagi menghampiri kami dengan sedan barunya.

“Bareng, yuk?!” ajaknya. Maris menatap saya. “Kami tidak biasa merepotkan orang lain. Duluan saja,” saya menjawab.

Henry kemudian berlalu. Kelihatannya ia tersinggung; saya tidak peduli.

*

Esoknya Maris menghampiri saya dengan wajah ceria. “Kenapa, Ris? Lagi bahagia, ya?” tanya saya.

“Seseorang yang selama ini aku tunggu, ternyata semalam menyatakan perasaannya padaku,” kata Maris.

“Siapa?” tanya saya dengan tidak bersemangat.

“Eng…Henry. Semalam kita jadian,” jawab Maris.

Tubuh saya menjadi lemas. Semua harapan yang  saya bangun agar menjadi sebuah istana harapan, pupus sudah hanya karena Henry. Saya menudukkan kepala. Menitikkan setetes air mata kekecewaan.

“Wita, aku tahu aku sudah ‘makan teman’. Seharusnya aku tidak melakukan ini. Pacaran dengan Henry yang dulu pernah suka sama kamu. Tapi, sungguh, Wit, aku sangat mencintai Henry dengan sepenuh hatiku,” jelas Maris.

Kata-kata Maris makin membuat saya terpukul. “Bukan, Ris, bukan karena saya mencintai Henry,” elak saya.

“Lalu?” Wajah Maris bertanya-tanya. Saya mengangkat wajah.

“Saya mencintai kamu, Ris.”

Maris terperangah. Ia sungguh tidak percaya perihal kelesbiananku.

***

20 Oktober 2004

No Comments

Leave a Reply