Saya tidak tahu bagaimana harus menceritakan soal Surti dan Tiga Sawunggaling. Bagi saya, ini salah satu pertunjukan teater yang berkesan. Perpaduan pencahayaan, liuk gerak, dan dialog yang kuat mampu membuat imajinasi saya masuk ke dalam cerita.
Sabtu malam (23/07) Salihara dipenuhi pengunjung yang sudah tidak sabar menonton pertunjukan Surti dan Tiga Sawunggaling. Beberapa pengunjung adalah mahasiswa, muda-belia. Beberapa lainnya terlihat sudah cukup “mapan” (kalau tak mau disebut tua). Ada yang datang bersama teman-teman atau pasangan mereka. Tapi, saya rasa, tak ada yang hadir sendirian. Mungkin pertunjukan ini terlalu indah untuk dinikmati seorang diri. Entahlah. Tetapi yang pasti malam itu saya benar-benar dibuat penasaran dengan kisah Surti dan Tiga Sawunggaling.
Sekitar pukul 8 malam kami diizinkan untuk masuk ke ruang pertunjukan. Namun pertunjukannya sendiri molor beberapa menit. Tak apa. Anggap saja ini pemanasan sekaligus kesempatan untuk mengumpulkan penasaran. Saya memakluminya.
Dan pertunjukan pun dimulai!
Dialah Surti (diperankan oleh Ine Febriyanti), perempuan Jawa yang ditinggal mati suaminya, Marwoto. Sang suami, yang kerap disapa Jen, adalah komandan gerilya yang dibunuh serdadu Belanda. Selepas kepergian Jen, Surti hanyut dalam kegiatan membatik.
“Saya bukan pembatik. Mungkin canting ini yang melahirkan burung-burung sawunggaling itu. Saya hanya mengikutinya.” Kira-kira begitu kata Surti.
Sawunggaling adalah burung mitologis yang datang dari benua yang terbelah. Sawunggaling pulalah yang menjadi corak kesayangan Surti. Diciptakannya tiga burung Sawunggaling dan Surti menamai mereka Anjani, Baira, dan Cawir. Ia bilang, namanya sengaja dibuat berurut sesuai alfabet.
“Agar mudah diingat, seperti A-B-C,” begitu katanya. Setelah itu senyum khas perempuan Jawa melengkung di bibirnya.
Kelak, Surti akan mewarnai burung-burung itu dengan warna khusus. Anjani diwarnai merah kembang sepatu, Baira warna biru, dan Cawir berwarna ungu. Di panggung yang didominasi warna putih itu menggelayut tiga kain panjang. Masing-masing kain disorot lampu warna merah, biru, dan ungu seolah mewakili burung-burung sawunggaling itu.
Dari burung-burung itulah Surti mendengar kisah menggetarkan sebelum peristiwa kematian suaminya. Ada kisah tragis, amarah, cemburu, dan kekosongan yang silih berganti terurai.
Sesekali Ine Febriyanti meliukkan tubuhnya, menari layaknya burung Sawunggaling. Ketika kain yang terjuntai dari atas panggung pertunjukan memantulkan cahaya lampu merah kembang sepatu, maka Ine akan asyik melakoni Anjani. Gerakannya lincah. Bebas. Sedikit terkesan genit dan terkadang sok tahu. Suara Surti yang lembut mendadak berubah kemayu saat ia memerankan Anjani. Hal serupa terjadi ketika Ine beralih peran, dari Surti menjadi Baira atau Cawir.
Ya, inilah pertunjukan monolog di mana Ine dituntut memerankan berbagai tokoh. Alur cerita dibuat maju-mundur. Tidak hanya itu, perpaduan kisah sehari-hari dan imajinasi benar-benar membuat Surti dan Tiga Sawunggaling ini menjadi kisah yang mengesankan.
Lantunan musik karya Dian HP juga makin membuat pertunjukan ini layak ditonton. Dentingan musik yang pelan nyatanya mampu membuat saya tenggelam dalam cerita dan tak jarang saya merinding dibuatnya. Di lain waktu, alunan musik bisa berubah dinamis, seakan membawa penonton ke dimensi lain dari cerita ini.
Hal lain yang menarik dari pertunjukan ini adalah permainan cahaya yang memantul ke panggung yang seluruhnya berwarna putih dengan barisan cermin di belakangnya. Ini apik, sungguh. Apalagi liuk gerak Surti (arahan Hartati) saat memerankan burung-burung sawunggaling benar-benar menyedot perhatian penonton.
Saya dibuat penasaran dengan akhir cerita. Andai ada tombol fast forward, saya mau menekannya agar langsung ke akhir cerita. Saya benar-benar dibuat penasaran dengan cerita yang melumat habis imajinasi saya. Tapi di sisi lain, saya pun mau membiarkan cerita ini mengalir begitu saja. Biar imajinasi terombang-ambing sesuka alurnya.
Namun kisah ini berakhir dengan… entahlah harus disebut apa. Dilihat dari sisi cerita, kisah ini berakhir dengan biasa-biasa saja — setidaknya menurut saya. Tapi dilihat bagaimana “akhir yang biasa-biasa saja” itu dikemas, saya harus mengacungkan dua jempol. Pasalnya, akhir cerita ini ditutup dengan balutan musik yang membuat merinding. Lebih edannya lagi, keranda putih yang diletakkan di panggung sebagai properti mendadak berjalan sendiri menuju sudut kanan panggung. Aura magis makin diperkuat dengan permainan lampu. Harus saya akui, saya merinding dibuatnya.
Menonton Surti dan Tiga Sawunggaling seperti tertarik ke era 1930-an dengan segala kecantikan dan misteri di dalamnya.
No Comments