Forgiven but not Forgotten*

thought_forgiven_featured image

 

Pertama kali saya mendengar kalimat itu ketika saya masih usia belasan tahun, sekitar SD atau SMP. Waktu itu, saya sedang gandrung dengan band asal Irlandia, The Corrs. Salah satu lagu mereka dalam album Unplugged berjudul Forgiven but not Forgotten. Saya tidak mengerti arti judul lagu itu. Maka saya bertanya pada kakak saya. Dia bilang, “Dimaafin tapi nggak dilupain.” Saya mengangguk saja kala itu. Sok mengerti. Pada kenyataannya, Septa kecil tetap tidak memahami maksud kalimat itu.

Dan hari ini, ketika usia saya sudah 23 tahun, ternyata saya masih tidak mengerti kalimat itu. Beberapa teman-teman saya sering men-tweet  “you’re forgiven, but not forgotten” atau kalimat lain bernada sama. Seorang teman saya yang lain pernah bercerita betapa hatinya masih diliputi rasa sakit. Ia bisa memaafkan, tetapi tidak melupakan kesalahan orang yang telah menyakitinya.

Ya, sampai detik ini saya masih tidak mengerti maksud kalimat forgiven but not forgotten. Jika dulu sewaktu kecil saya tidak paham akan maknanya, kini saya tidak mengerti bagaimana praktik memaafkan tidak sejalan dengan melupakan kesalahan.

Tanpa bermaksud menggurui mereka yang masih melihat forgiven but not forgotten sebagai hal yang biasa-biasa saja, saya pribadi melihat forgiven but not forgotten sebagai sebuah khalayan yang mustahil.

Tentu saja mustahil. Sebab, bagaimana mungkin kita memaafkan tanpa melupakan kesalahan? Tidak melupakan kesalahan berarti, dengan kata lain, kita masih menyimpan kesalahan. Padahal di sisi lain, kita berkata kita telah memaafkannya. Dua ide yang kontradiktif. Janggal kedengarannya.

Bagi saya, memaafkan dan melupakan kesalahan senantiasa berjalan beriringan. Seperti dua sisi mata uang, tidak terpisahkan. Ia seumpama gula dan kopi. Tanpa gula, kopi pagimu akan terasa pahit. Tanpa melupakan kesalahan, kata memaafkan rasanya hambar. Meski pada kenyataannya, masih banyak orang yang menikmati kopi tanpa gula, mereka masih mencandu kepahitan.

Memaafkan dan melupakan kesalahan sama halnya dengan menyayangi dan peduli. Saya peduli terhadap studinya, kariernya, masa depannya, kesehatannya, dan hal tetek bengek lainnya. Saya harus memastikan bahwa dia akan baik-baik saja.

Karena saya menyayanginya, maka setiap perilaku saya akan mencerminkan kepedulian saya terhadapnya. Dan saya tidak mungkin mempedulikannya jika saya tidak menyayanginya lebih dulu.  Bukankah memaafkan dan melupakan kesalahan juga demikian? Sekali lagi, bagaimana mungkin kesalahan yang sudah dimaafkan masih diingat? Buat saya, peduli adalah konsekuensi logis dari menyayangi; melupakan kesalahan adalah konsekuensi logis dari memaafkan. Keduanya tersusun paralel.

Manusia punya kehendak bebas untuk mendendam, menyimpan kepahitan, atau mengampuni. Dan tiap-tiap pilihan punya risiko masing-masing.   Segala perbedaan pendapat tentang ide ini adalah sebuah kewajaran. Saya menganggapnya sebagai sebuah kekayaaan dalam berkontemplasi. Jadi tak perlu dibuat rumit.

*) Tulisan ini dibuat 31 Oktober 2011

4 Comments

  • intan November 10, 2011 at 6:59 pm

    mungkin tahap pertama memaafkan lalu [belajar] melupakan
    *mungkin* 🙂

    Reply
  • Septa Mellina November 10, 2011 at 8:24 pm

    Hi Intan, makasih udah baca tulisan saya. Ya, semuanya proses. Posting ini sekedar berbagi gagasan aja 😀

    Reply
  • ayu January 25, 2012 at 9:12 am

    Wah tulisannya dibuat pas hari aq ultah … Btw gw forgiven but not forgotten loh ta … Gw ud maafin tu org tapi gw ga bisa lupa sakit hati gw ..

    Reply
    • Septa Mellina January 25, 2012 at 3:13 pm

      Makasih Roro udah baca dan comment. Ayooo nulis juga! 🙂

      Reply

Leave a Reply