Sebatang Rokok Absurdmu

prose_sebatang rokok absurdmu_featured image

 

“Sejak kapan kau kembali merokok?”

“Kau tahu, di dunia ini ada banyak hal yang tidak mudah.”

“Berhentilah merokok!”

“Tapi tidak berarti kita harus menyerah.”

“Hei, asapmu!”

Kau melirikku sesaat lalu kembali menghirup rokokmu dan menghembuskan asapnya ke arah lain.

“Karena menyerah cuma buat pengecut,” kemudian kau menghirup rokokmu lebih dalam.

“Kalau kau menghembuskan asap rokokmu ke arah lain, tak berarti aku mengizinkanmu merokok.”

“Pengecut mundur sebelum perang lantaran takut.”

“Ah, aku tidak butuh pikiran absurdmu. Berhentilah merokok! Itu saja.”

“Tapi kita bukan mereka. Kita bukan pengecut. Maka tak perlu takut.”

“Terima kasih atas teorimu. Kau pun sebenarnya pengecut. Kau takut–sangat takut–dengan hidupmu. Maka kau mencari jalan pintas.”

“Aku bukan pengecut dan aku tidak takut!”

“Kalau begitu matikan rokokmu. Jangan pernah kembali ke kebiasaan burukmu ketika kau jatuh hadapi masalah.”

Aku diam lalu pergi menjauh. Sungguh, hingga detik ini aku masih tidak menangkap jalan pikirmu: absurd dan teoritis.

 

 

Kamar,

di tengah materi kuliah, kebosanan, dan kantuk yang tak juga datang

No Comments

Leave a Reply