Satu Jam Di Sebuah Sore
Aku mau bersamanya lebih lama lagi, menghabiskan tiap detik tanpa berkata-kata selain tersenyum dan merelakan diriku tenggelam dalam sorot matanya.
Aku mau bersamanya lebih lama lagi, menghabiskan tiap detik tanpa berkata-kata selain tersenyum dan merelakan diriku tenggelam dalam sorot matanya.
I smelt your perfume, hoped it would stay a little bit longer so I could reminisce the warmth of your hugs, the gentleness when your lips danced on mine. I smelt your perfume, freezing the moment when we firstly met. My mind played our every scene. I still smelt your perfume; it stayed there and would always be.
“Sejak kapan kau kembali merokok?” “Kau tahu, di dunia ini ada banyak hal yang tidak mudah.” “Berhentilah merokok!” “Tapi tidak berarti kita harus menyerah.” “Hei, asapmu!” Kau melirikku sesaat lalu kembali menghirup rokokmu dan menghembuskan asapnya ke arah lain. “Karena menyerah cuma buat pengecut,” kemudian kau menghirup rokokmu lebih dalam. “Kalau kau menghembuskan asap rokokmu ke arah lain, tak…
Bisakah sebentar saja kita meneguk secangkir teh hangat lalu bercerita soal kepenatan dan kesesakan ini? Satu atau dua jam saja sampai matahari benar-benar turun sore ini.
Selamat pagi. Tepat pukul 2 dini hari pada 10 Juli 2010 saya menulis posting ini. Mata saya masih enggan tertutup. Lagipula posting terakhir dibuat 3 hari silam, jadi tak salah kalau saya kangen moment mengetik seperti ini 🙂 Entah apa yang mau diposting. Tak ada yang banyak berubah. Hanya belakangan perhatian saya migrasi, dari blog ke Twitter. Tenang, saya bukan…